BAB
I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Belajar
bukan hanya menghafal dan bukan pula mengingat, tetapi belajar adalah suatu
proses yang ditandai dengan adanya perubahan pada diri siswa. Perubahan sebagai
hasil proses belajar dapat ditunjukan dalam berbagai bentuk, seperti perubahan
pengetahuanya, sikap dan tingkah laku, keterampilan, kecakapanya, kemampuannya,
daya reaksinya dan daya penerimaanya. Jadi belajar adalah suatu proses
yang aktif, proses mereaksi terhadap semua situasi yang ada pada siswa. Belajar
merupakan suatu proses yang diarahkan pada suatu tujuan, proses berbuat melalui
situasi yang ada pada siswa. Oleh karena itu, dalam suatu pembelajaran juga
perlu didukung oleh adanya suatu teori belajar.
Secara pragmatis, teori belajar dapat dipahami sebagai prinsip umum atau
kumpulan prinsip yang saling berhubungan dan merupakan penjelasan atau sejumlah
fakta dan penemuan yang berkaitan dengan peristiwa belajar Dengan berkembangnya
psikologi dalam pendidikan, maka bersamaan dengan itu bermunculan pula berbagai
teori tentang belajar. Di dalam masa perkembangan psikologi pendidikan ini
muncullah secara beruntun beberapa aliran pasikologi pendidikan, masing-masing
yaituPsikologi behavioristik; Psikologi kognitif; dan Psikologi humanistik.
1.2. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan Teori belajar Psikologi
Behavioristik ?
2. Apa yang dimaksud dengan Teori belajar Psikologi
Kognitif ?
3. Apa yang
dimaksud dengan Teori belajar Psikologi Humanistik ?
1.3. Tujuan Penulisan
1. Mengerti dan Memahami Apa yang dimaksud dengan
Teori belajar Psikologi Behavioristik.
2. Mengerti dan Memahami Apa yang dimaksud dengan
Teori belajar Psikologi Kognitif.
3. Mengerti dan Memahami Apa yang dimaksud dengan
Teori belajar Psikologi Humanistik.
BAB
II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
2.1. Teori Belajar
Psikologi Behavioristik
Teori belajar
behavioristik adalah sebuah teori yang dicetuskan oleh Gage dan Berliner pada tahun
1984, yaitu tentang perubahan tingkah laku sebagai hasil dari pengalaman.Menurut
teori behavioristik belajar adalah perubahan tingkah laku sebagai hasil dari
pengalaman.
Menurut
teori ini dalam belajar yang penting adalah input yang berupa stimulus dan
output yang berupa respon. Stimulus adalah apa saja yang diberikan guru kepada
siswa, sedangkan respon berupa reaksi atau tanggapan siswa terhadap stimulus
yang diberikan oleh guru tersebut. Proses yang terjadi antara stimulus dan
respon tidak penting untuk diperhatikan karena tidak dapat diamati dan tidak
dapat diukur. Yang dapat diamati adalah stimulus dan respon, oleh karena itu
apa yang diberikan oleh guru (stimulus) dan apa yang diterima oleh siswa
(respon) harus dapat diamati dan diukur. Teori ini mengutamakan pengukuran,
sebab pengukuran merupakan suatu hal penting untuk melihat terjadi atau
tidaknya perubahan tingkah laku tersebut.
Teori
behavioristik menjadi dominan mewarnai pemikiran selama tahun 1950-an. Berdasarkan hasil karya para ahli dan pemikir
seperti John B. Watson, Ivan Pavlov, dan B.F. Skinner.Para psikolog
behavioristik juga sering disebut “contemporary behaviorists” atau juga disebut
“S-R psychologists”.Teori behavioristik berpendapat bahwa semua perilaku dapat
dijelaskan oleh sebab-sebab lingkungan, bukan oleh kekuatan
internal.Behavioristik berfokus pada perilaku yang dapat diamati.[1]
Guru-guru yang
menganut pandangan ini berpendapat, bahwa tingkahlaku murid-murid merupkan
reaksi-reaksi terhadap lingkungan mereka pada masa lalu dan masa sekarang, dan
bahwa segenap tingkah laku adalah merupakan hasil belajar.Kita dapat
menganalisis kejadian kejadian tingkah laku dengan jalan mempelajari latar
belakang penguatan (reinforcement) terhadap tingkah laku tersebut.[2]
Terdapat tiga macam teori
behavioristik, yakni: connectionism (koneksionisme), classical conditioning
(pembiasaan klasik), dan operant conditioning (pembiasaan perilaku respons).
2.1.1. Koneksionisme
Teori
koneksionisme (connectionism) adalah teori yang ditemukan dan dikembangkan oleh
Edward L. Thorndike (1874-1949) berdasarkan eksperimen yang ia lakukan pada
tahun 1890-an yang menggunakan hewan-hewan terutama kucing untuk mengetahui
fenomena belajar. Berdasarkan eksperimennya, Thorndike
menyimpulkan bahwa belajar adalah hubungan antara stimulus dan respons.Itulah
sebabnya, koneksionisme juga disebut “S-R Nond Theory” dan “S-R Psychology of
Learning”.Di samping itu, teori ini juga terkenal dengan sebutan “Trial and
Error Leraning”.Istilah ini menunjuk pada panjangnya waktu atau banyaknya
jumlah kekeliruan dalam mencapai suatu tujuan.
Dari penelitiannya itu, Thorndike
menemukan hukum-hukum sebagai berikut:
(1) Law of
effect yaitu jika sebuah respons
menghasilkan efek yang memuaskan, hubungan antara stimulus dengan respons akan
semakin kuat. Sebaliknya, semakin tidak
memuaskan (menggangu) efek yang dicapai respons, semakin lemah pula hubungan
stimulus dan respons tersebut.
(2) Law of
readiness (hukum kesiapsiagaan) pada
prinsipnya hanya merupakan asumsi bahwa kepuasan organisme itu berasal dari
pendayagunaan conductions unit (satuan perantaraan). Unit-unit ini menimbulkan
kecenderungan yang mendorong organisme untuk berbuat atau tidak berbuat
sesuatu.Jelas, hukum ini semata-mata bersifat spekulatif yang menurut Reber
(1988), hanya bersifat historis.
(3)
Law of
exercise (hukum pelatihan) ialah generalisasi in law of use and law of disuse.
Menurut Hilgard & Bower (1975), jika perilaku (perubahan hasil belajar)
sering dilatih atau digunakan maka eksistensi perilaku tersebut akan semakin
kuat (law of use). Sebaliknya, jika
perilaku tadi tidak sering dilatih atau tidak digunkan maka perilaku tersebut
akan terlupakan atau sekurang-kurangnya akan menurun (law of disuse).[3]
2.1.2.
Pembiasaan Klasik
Teori pembiasaan klasik (classical
conditioning) ini berkembang berdasarkan hasil eksperimen yang dilakukan oleh
Ivan Pavlov (1849-1936), seorang ilmuwan besar Rusia yang berhasil menggondol
hadiah Nobel pada tahun 1909. Pada dasarnya classical conditioning adalah
sebuah prosedur penciptaan refleks baru dengan cara mendatangkan stimulus
sebelum terjadinya reflek tersebut (Terrace, 1973).
Dalam eksperimennya, Pavlov
menggunakan anjing untuk mengetahui hubungan-hubungan antara conditioned
stimulus (CS), unconditioned stimulus (UCS), conditioned response (CR), dan
Unconditioned-response (UCR). CS adalah rangsangan yang mampu mendatangkan
respons yang dipelajari, sedangkan respons
yang dipelajari itu sendiri disebut CR. Adapun UCS berarti rangsangan
yang menimbulkan respons yang tidak dipelajari, dan respons yang tidak
dipelajari itu disebut UCR.
Berdasarkan
eksperimen Pavlov menyimpulakan bahwa belajar adalah perubahan yang ditandai
dengan adanya hubungan antara stimulus dan respons. Apabila stimulus yang
diadakan (CS) selalu disertai dengan stimulus penguat (UCS), stimulus tadi (CS)
cepat atau lambat akhirnya akan menimbulkan respons atau perubahan yang kita
kehendaki yang dalam hal ini CR.[4]
1.2.3. Pembiasaan Perilaku Respons
Teori pembiasaan perilaku respons (operant
conditioning) ini diciptakan oleh Burrhus Frederic Skinner (lahir tahun
1904).Tema pokok yang mempengaruhi karya-karyanya adalah bahwa tingkah laku itu
terbentuk oleh konsekuensi-konsekuensi yang ditimbulkan oleh tingkah laku itu
sendiri (Bruno, 1987).
“Operant”
adalah sejumlah perilaku atau respons yang membawa efek yang sama terhadap
lingkungan yang dekat (Rober, 1988). Respons dalam operant conditioning terjadi tanpa didahului oleh stimulus,
melainkan oleh efek yang ditimbulkan oleh reinforce.
Reinforce sesungguhnya adalah stimulus yang meningkatkan kamungkinan
timbulnya sejumlah respons tertentu.
Dalam eksperimennya, Skinner menggunakan seekor tikus
yang ditempatkan dalam sebuah peti yang kemudian terkenal dengan nama “Skinner
box”. Eksperimen yang dilakukan Skinner mirip sekali dengan trial and error
learning yang ditemukan oleh Thorndike.Dalam hal ini, fenomena tingkah laku
belajar menurut Thorndike selalu melibatkan satisfaction/kepuasan, sedangkan
menurut Skinner fenomena tersebut melibatkan reinforcement/penguatan.
Selanjutnya, proses belajar dalam teori operant conditioning juga tunduk kepada
dua hukum operant yang berbeda, yakni: law
of operant conditioning dan law of operant
extinction. Menutut law of operant
conditioning, jika timbulnya tingkah laku operant diiringi dengan stimulus
penguat, maka kekuatan tingkah laku tersebut akan meningkat. Sebaliknya,
menurut law of operant extinction,
jika timbulnya tingkah laku operant yang telah diperkuat melalui proses conditioning itu tidak diiringi dengan
stimulus penguat, maka kekuatan tingkah laku
tersebut akan menurun atau bahkan musnah (Hintzman, 1987). Hukum-hukum
ini pada dasarnya sama saja dengan hukum-hukum yang melekat dalam proses
belajar menurut teori pembiasaan yang klasik.[5]
Dalam pengajaran, operants conditioning menjamin
respon-respon terhadap stimulus.Apabila murid tidak menunjukkan reaksi-reaksi
terhadap stimulus, guru tak mungkin dapat membimbing tingkah lakunya ke arah
tujuan behavior. Guru berperan penting di dalam kelas untuk mengontrol dan
mengarahkan kegiatan belajar ke arah tercapainya tujuan yang telah dirumuskan.[6]
Teori Behavioristik memberikan sumbangan teori-teori penting untuk mengajar
anak berrkesulitan belajar.Pusat perhatian teori-teori ini terutama pada
tugas-tugas yang diajarkan dan analisis perilaku yang dibutuhkan untuk
mempelajari tugas-tugas tersebut.Pembelajaran yang bertolak dari teori ini
kadang-kadang disebut pembelajaran langsung (direct instruction), tetapi ada
pula yang menyebt belajar tuntas (mastery learning), pengajaran terarah
(directed teaching), analisis tugas (task analysis), atau pengajaran
keetrampilan berurutan (sequential skill teaching).Suatu rekomendasi yang
didasarkan atas teori Behavioristik adalah bahwa guru hendaknya lebih
memusatkan perhatian pada keterampilan-keterampilan akademik yang diperlukan
oleh anak daripada memusatkan kekurangan yang menghambat anak untuk belajar.[7]
2.2. Teori Belajar Psikologi
Kognitif
Ada
beberapa ahli yang belum merasa puas terhadap penemuan-penemuan para ahli
sebelumnya mengenai belajar sebagai hubungan stimulus-response-reinforcement.
Mereka berpendapat bahwa tingkah laku seseorang tidak hanya dikontrol oleh reward
dan reinforcement. Mereka ini adalah para ahli jiwa aliran
kognitifis.Menurut pendapat mereka, tingkah laku seseorang senantiasa
didasarkan pada kognisi, yaitu tindakan mengenal atau memikirkan situasi dimana
tingkah laku itu terjadi.Jadi, kaum kognifitis berpandangan, bahwa tingkah laku
seseorang bergantung kepada insight terhadap hubungan-hubungan yang ada
di dalam suatu situasi.[8]
Istilah
psikologi kognitif diciptakan oleh Ulric
Neisser tahun 1967 dalam sebuah bukunya yang berjudul Cognitive Psychology. Dan
mulai berkembang dengan lahirnya teori belajar gestalt. Peletak dasar
psikologi Gestalt adalah Mex Wertheimer(1880-1943).
Psikologi kognitif mengakui otak menjalankan fungsi utama, yaitu berpikir.
Otak adalah sistem fisik murni yang bekerja (meskipun kompleks) dalam
batas-batas hukum alam dan kekuatan sebab dan akibat. Pandangan ini disebut
fungsionalisme kausal atau fungsionalisme.
2.2.1. Teori Belajar Cognitive-Field dari
Lewin
Tokoh dari teori kognitif adalah
Kurt Lewin (1892-1947).Mengembangkan suatu teori belajar kognitif-field dengan
menaruh perhatian kepada kepribadian dan psikologi social. Lewin memandang
masing-masing individu berada di dalam suatu medan kekuatan yang bersifat
psikologis. Medan dimana individu bereaksi disebut life space. Life space
mencankup perwujudan lingkungan di mana individu bereaksi, misalnya ; orang –
orang yang dijumpainya, objek material yang ia hadapi serta fungsi kejiwaan
yang ia miliki.
Jadi menurut Lewin, belajar berlangsung sebagai akibat
dari perubahan dalam struktur kognitif. Perubahan sruktur kognitif itu adalah
hasil dari dua macam kekuatan, satu dari stuktur medan kognisi itu sendiri,
yang lainya dari kebutuhan motivasi internal individu. Lewin memberikan peranan
lebih penting pada motivasi dari reward.[9]
2.2.2. Teori Belajar Cognitive
Developmental dari Piaget
Menurut
Piaget setiap anak mengembangkan kemampuan berpikirnya menurut tahap yang
teratur. Pada satu tahap perkembangan tertentu akan muncul skema atau struktur
tertentu yang keberhasilannya pada setiap tahap amat bergantung pada tahap
sebelumnya. Adapun tahapan-tahapan tersebut adalah:
a) Tahap
Sensori Motor (dari lahir sampai kurang lebih umur 2 tahun)
Dalam dua tahun pertama kehidupan
bayi ini, dia dapat sedikit memahami lingkungannya dengan jalan melihat, meraba
atau memegang, mengecap, mencium dan menggerakan.Beberapa kemampuan kognitif
yang penting muncul pada saat ini.Anak tersebut mengetahui bahwa perilaku yang
tertentu menimbulkan akibat tertentu pula bagi dirinya. Misalnya dengan
menendang-nendang dia tahu bahwa selimutnya akan bergeser darinya.
b) Tahap Pra-operasional ( kurang lebih umur 2
tahun hingga 7 tahun)
Dalam tahap
ini sangat menonjol sekali kecenderungan anak-anak itu untuk selalu
mengandalkan dirinya pada persepsinya mengenai realitas.Dengan adanya perkembangan
bahasa dan ingatan anakpun mampu mengingat banyak hal tentang lingkungannya.
Intelek anak dibatasi oleh egosentrisnya yaitu ia tidak menyadari orang lain
mempunyai pandangan yang berbeda dengannya.
c) Tahap Operasi Konkrit (kurang lebih 7 sampai
11 tahun)
Dalam tahap ini anak-anak sudah
mengembangkan pikiran logis.Anak-anak sering kali dapat mengikuti logika atau
penalaran, tetapi jarang mengetahui bila membuat kesalahan.
d) Tahap Operasi Formal (kurang lebih umur 11
tahun sampai 15 tahun)
Selama tahap ini anak sudah mampu berpikir abstrak,
yaitu berpikir mengenai gagasan.Anak dengan operasi formal ini sudah dapat
memikirkan beberapa alternatif pemecahan masalah.
2.2.3. Teori
Belajar Discovery Learning dari Bruner
Bruner
menekankan bahwa proses belajar akan berjalan dengan baik dan kreatif jika guru
memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan suatu konsep, teori, aturan,
atau pemahaman melalui contoh-contoh yang ia jumpai dalam kehidupan. Bruner
meyakini bahwa pembelajaran tersebut bisa muncul dalam tiga cara atau bentuk,
yaitu: enactive, iconic dan symbolic.
Pengetahuan
enaktif adalah mempelajari sesuatu dengan memanipulasi objek,
melakukan pengetahuan tersebut daripada hanya memahaminya. Anak-anak didik
sangat mungkin paham bagaimana cara melakukan lompat tali (‘melakukan’
kecakapan tersebut), namun tidak terlalu paham bagaimana menggambarkan
aktifitas tersebut dalam kata-kata, bahkan ketika mereka harus menggambarkan
dalam pikiran.
Pembelajaran
ikonik merupakan pembelajaran yang melalui gambaran; dalam
bentuk ini, anak-anak mempresentasikan pengetahuan melalui sebuah gambar dalam
benak mereka.Anak-anak sangat mungkin mampu menciptakan gambaran tentang pohon
mangga dikebun dalam benak mereka, meskipun mereka masih kesulitan untuk
menjelaskan dalam kata-kata.
Pembelajaran
simbolik, ini merupakan pembelajaran yang dilakukan melalui
representasi pengalaman abstrak (seperti bahasa) yang sama sekali tidak
memiliki kesamaan fisik dengan pengalaman tersebut. Sebagaimana namanya,
membutuhkan pengetahuan yang abstrak, dan karena simbolik pembelajaran yang
satu ini serupa dengan operasional formal dalam proses berpikir dalam teori
Piaget.
Jika dikorelasikan dengan aplikasi
pembelajaran, Discoveri learningnya Bruner dapat dikemukakan sebagai berikut:
1.
Belajar merupakan kecenderungan dalam diri manusia, yaitu Self-curiousity
(keingintahuan) untuk mengadakan petualangan pengalaman.
2.
Belajar penemuan terjadi karena sifat mental manusia mengubah struktur yang
ada. Sifat mental tersebut selalu mengalir untuk mengisi berbagai kemungkinan
pengenalan.
3.
Kualitas belajar penemuan diwarnai modus imperatif kesiapan dan kemampuan
secara enaktif, ekonik, dan simbolik.
4.
Penerapan belajar penemuan hanya merupakan garis besar tujuan instruksional
sebagai arah informatif.
5.
Kreatifitas metaforik dan creative conditioning yang bebas dan
bertanggung jawab memungkinkan kemajuan.
2.3. Teori Belajar Psikologi
Humanistik
Aliran psikologi humanistik sangat terkenal dengan
konsepsi bahwa esensinya manusia itu baik menjadi dasar keyakinan dan mengajari
sisi kemanusiaan. Psikologi humanistik utamanya didasari atas atau merupakan
realisasi dari psikologi eksistensial dan pemahaman akan keberadaan dan
tanggung jawab sosial seseorang. Dua psikolog yang ternama, Carl Rogers dan
Abraham Maslow, memulai gerakan psikologi humanistik perspektif baru mengenai
pemahaman kepribadian seseorang dan meningkatkan kepuasan hidup mereka secara
keseluruhan.
Psikologi humanistik adalah perspektif psikologis yang
menekankan studi tentang seseorang secara utuh.Psikolog humanistik melihat
perilaku manusia tidak hanya melalui penglihatan pengamat, malainkan juga
melalui pengamatan atas perilaku individu mengintegral dengan perasaan batin
dan citra dirinya.
Studi psikologi humanistik melihat manusia, pemahaman,
dan pengalaman dalam diri manusia, termasuk dalam kerangka belajar dan
belajar.Mereka menekankan karakteristik yang dimiliki oleh makluk manusia
seutuhnya seperti cinta, kesedihan, peduli, dan harga diri.Psikolog humanistik
mempelajari bagaimana orang-orang dipengaruhi oleh persepsi dan makna yang
melekat pada pengalaman pribadi mereka.Aliran ini menekankan pada pilihan
kesadaran, respon terhadap kebutuhan internal, dan keadaan saat ini yang
menjadi sangat penting dalam membentuk perilaku manusia.
Pendekatan pengajaran humanistik didasarkan pada
premis bahwa siswa telah memiliki kebutuhan untuk menjadi orang dewasa yang
mampu mengaktualisasi diri, sebuah istilah yang digunakan oleh Maslow
(1954).Aktualisasi diri orang dewasa yang mandiri, percaya diri, realistis
tentang tujuan dirinya, dan fleksibel.Mereka mampu menerima dirinya sendiri,
perasaan mereka, dan lain-lain di sekitarnya.Untuk menjadi dewasa dengan aktualisasi
dirinya, siswa perlu ruang kelas yang bebas yang memungkinkan mereka menjadi
kreatif.
Tujuan dasar pendidikan humanistik adalah mendorong
siswa menjadi mandiri dan independen,
mengambil tanggung jawab untuk pembelajaran mereka, menjadi kreatif dan tertarik
dengan seni, dan menjadi ingin tahu tentang dunia di sekitar mereka. Sejalan
dengan itu, prinsip-prinsip pendidikan humanistik disajikan sebagai berikut.
a.
Siswa harus dapat memilih apa yang mereka ingin pelajari. Guru humanistik
percaya bahwa siswa akan termotivasi untuk mengkaji materi bahan ajar jika
terkait dengan kebutuhan dan keinginannya.
b.
Tujuan pendidikan harus mendorong keinginan siswa untuk belajar dan
mengajar mereka tentang cara belajar. Siswa harus memotivasi dan merangsang
diri pribadi untuk belajar sendiri.
c.
Pendidik humanistik percaya bahwa nilai tidak relavan dan hanya evaluasi
diri (selfevaluation) yang bermakna. Pemeringkatan mendorong siswa belajar
untuk mencapai tingkat tertentu, bukan untuk kepuasan pribadi.Selain itu,
pendidik humanistik menentang tes objektif, karena mereka menguji kemampuan
siswa untuk menghafal dan tidak memberikan umpan balik pendidikan yang cukup
kepada guru dan siswa.
d.
Pendidik humanistik percaya bahwa, baik perasaan maupun pengetahuan, sangat
penting dalam proses belajar dan tidak memisahkan domain kognitif dan afektif
e.
Pendidik humanistik menekankan perlunya siswa terhindar dari tekanan lingkunngan, sehingga mereka akan merasa aman untuk
belajar. Setelah siswa merasa aman, belajar mereka menjadi lebih mudah dan
lebih bermakna.[10]
BAB III
PENUTUP
PENUTUP
3.1. Simpulan
Secara
pragmatis, teori belajar dapat dipahami sebagai prinsip umum atau kumpulan
prinsip yang saling berhubungan dan merupakan penjelasan atau sejumlah fakta
dan penemuan yang berkaitan dengan peristiwa belajar.
Belajar sebagai kegiatan siswa
jika dipandang dari teori-teori tersebut adalah perubahan tingkah laku
(behavioristik), untuk mempelajari proses mental, bagaimana cara berfikir,
mengingat, merasakan dan belajar (kognitif), dan studi tentang melihat manusia
secara utuh, tidak hanya melalui penglihatan pengamat tetapi juga pengamatan
atas perilaku individu, mengintegralkan dengan perasaan batin dan citra rasa
(humanistik).
Dari ketiga teori tersebut, dapat disimpulkan bahwa dalam pembelajaran
perlu diterapkannya beberapa teori agar dengan pembelajaran tersebut dapat
tercapainya proses belajar yang diharapkan.
3.2. Saran
Kritik dan saran sangat diharapkan untuk kesempurnaan makalah ini, dan semoga dengan
adanya makalah ini kita bisa lebih memahami tentang teori-teori belajar dalam
psikologi, sehingga kita diharapkan dapat lebih mengefektifkan kegiatan belajar
dan mengajar dengan lebih baik lagi.
[1] Sudarwan Danim dan Khairil,
Psikologi Pendidikan, (Bandung: Alfabeta, 2011), hlm. 37.
[2] Drs. Wasty Soemanto, M.Pd.,Psikologi Pendidikan, (Jakarta:
Rineka Cipta, 2012), hlm. 123
[3]Muhibbinsyah, Psikologi
Pendidikan dengan Pendekatan Baru, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2010), hlm.
103
[4]Ibid, hlm. 104
[5]Ibid, hlm. 106
[6] Dalyono, Psikologi Pendidikan,
(Jakarta: Rineka Cipta, 2005), hlm. 33
[7] Dr. Mulyono Abdurrahman, Pendidikan bagi Anak Berkesulitan
Belajar, (Jakarta: Rineka Cipta, 2003), hlm. 89
[8] Drs. Wasty Soemanto, M.Pd.,Psikologi Pendidikan, (Jakarta:
Rineka Cipta, 2012), hlm. 127
[9] Dalyono, Psikologi Pendidikan,
(Jakarta: Rineka Cipta, 2005), hlm. 36
[10] Sudarwan Danim dan Khairil,
Psikologi Pendidikan, (Bandung: Alfabeta, 2011), hlm. 23
Abdurrahman, Mulyono. 2003. Pendidikan bagi Anak
Kesulitan Belajar. Jakarta: Rineka CIpta
Dalyono. 2005. Psikologi
Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta.
Danim, Sudarwan dan Khairil. 2011. Psikologi Pendidikan. Bandung: Alfabeta
Muhibbinsyah. 2010. Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru. Bandung: Remaja
Rosdakarya.
Soemanto, Wasty. 2012. Psikologi Pendidikan.
Jakarta: Rineka Cipta
Komentar
Posting Komentar