Makalah Tafsir Tarbawi - Metode Pendidikan Yang Terkandung dalam Surah An-Nahl ayat 125 dan surah Al-A'raf 176-177
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Pendidikan
merupakan suatu hal yang sangat penting dalam kehidupan manusia, karena dengan
pendidikan manusia akan mampu mengembangkan potensi yang dimilikinya. Kemampuan
yang dimiliki manusia mampu berinteraksi dengan lingkungannya baik lingkungan
fisik, maupun lingkungan sosial, menempatkan peranan, posisi, tugas dan
tanggung jawab sebagai makhluk sosial.
Pendidikan
merupakan suatu wadah untuk menciptakan interaksi antara pendidikan dan anak
didik yang didalamnya mengandung nilai, kedua-duanya mempunyai tugas, posisi
dan tanggung jawab yang berbeda. Pendidikan bertanggung jawab untuk
mengantarkan anak didik kearah kedewasaan susila yang cakap dengan memberikan
sejumlah ilmu pengetahuan dan dengan bantuan dan bimbingan dari pendidik.
Dalam
dunia proses belajar mengajar yang disingkat menjadi PBM, sebuah ungkapan
popular kita kenal dengan "metode jauh lebih penting dari materi” demikian
urgennya metode dalam proses pendidikan dan pendidikan.
Urgensi metode pendidikan berasal dari
kenyataan yang menunjukan bahwa materi kurikulum pendidikan Islam tidak akan
dapat diajarkan melainkan di berikan dengan cara khusus. Ketidaktepatan dalam
penerapan metode ini, kiranya akan menghambat proses belajar mengajar dan akan
berakibat membuang waktu dan tenaga, maka dari itu seorang pendidik dihimbau
untuk selalu memberikan metode pendidikan yang disyariatkan oleh al-Qur'an.
Salah satu metode pendidikan yang perlu dikembangkan termuat dalam surah
An-Nahl ayat 125 dan surah Al-A'raf 176-177.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Apa
saja Kandungan yang Terkandung Dalam Surah An-Nahl ayat 125 dan surah Al-A'raf
176-177 ?
2.
Bagaimana
Metode Pendidikan Yang Terkandung dalam Surah An-Nahl ayat 125 dan surah Al-A'raf
176-177 ?
C.
Tujuan
1.
Dapat
Mengetahui dan Memahami Kandungan yang Terkandung Dalam Surah An-Nahl ayat 125
dan surah Al-A'raf ayat 176-177.
2.
Dapat
Mengetahui dan Memahami Metode Pendidikan Yang Terkandung dalam Surah An-Nahl
ayat 125 dan surah Al-A’raf ayat 176-177.
BAB
II
ISI
A.
Surah
An-Nahl ayat 125
1.
125. Serulah (manusia)
kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah
mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih
mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih
mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.[1]
|
2.
Tafsir
a)
Tafsir
Ibnu Katsir
Allah SWT berfirman,
memerintahkan Rasul-Nya Muhammad saw untuk menyeru makhluk ke jalan Allah dengan
cara hikmah (perkataan yang tegas dan benar). Ibnu Jarir berkata, “dan
demikianlah apa yang diturunkan Allah kepada Muhammad dari kitab, sunnah dan
pelajaran yang baik, yaitu tentang sesuatu yang di dalamnya terdapat larangan
dan ketetapan bagi manusia. Mengingatkan mereka dengan itu semua (al-Kitab,
sunnah dan mauizhoh) agar mereka takut akan siksa Allah SWT.[1]
b)
Tafsir
Munir
Ajaklah kepada jalan
Tuhanmu ya... Muhammad (kepada agama Allah) dengan Hikmah dengan ucapan
kebijaksanaan. Ini adalah merupakan dalil yang bersih yang benar dari
penyerupaan-penyerupaan yang keliru. Adapun yang disebut dengan nasehat yang
baik adalah nasehat-nasehat dan pelajaran-pelajaran yang bermanfaat dan
perkataan yang bercahaya. Telah berkata Imam Baidhowi yang dimaksud dengan:
“Hikmah adalah: seruan atau ajakan yang has kepada umat yang sedang belajar
yang dituntut kepada kebenaran”. Al-Mau'idhoh adalah:
pendidikan atau seruan kepada kaum awam. Jadilhum Billati Hiya Ahsan adalah:
maka debatlah mereka dengan yang lebih baik (sebaik-baik debat), yaitu
perdebatan sambil menyeru mereka dengan jalan yang lebih baik. Berbagai jalan
perdebatan itu antara lain: Debat dengan cara halus, debat dengan penuh kasih
sayang, dan perdebatan yang meninggalkan artinya semudah-mudahnya cara untuk
membangun dalil-dalil yang harus dipersembahkan dan dikedepankan.[2]
c)
Tafsir
Musthafa Al Maraghi
Hai Rasul, serulah
orang-orang yang kau diutus kepada mereka dengan cara menyeru mereka kepada
syari’at yang telah digariskan Allah bagi makhluk-Nya melalui wahyu yang
diberikan kepadaMu, dan memberi mereka pelajaran dan peringatan yang diletakkan
di dalam kitab-Nya sebagai hujah atas mereka, serta selalu diingatkan kepada
mereka, seperti diulang-ulang dalam surat ini. Dan bantahlah mereka dengan
bantahan yang lebih baik daripada bantahan lainnya seperti memberi maaf kepada
mereka jika mereka mengotori kehormatanmu serta bersikaplah lemah lembut
terhadap mereka dengan menyampaikan kata-kata yang baik, sebagaimana firman
Allah di dalam ayat lain:
Dan janganlah kamu berdebat
dengan Ahli Kitab, melainkan dengan cara yang paling baik, kecuali dengan
orang-orang zalim di antara mereka, dan Katakanlah: "Kami telah beriman
kepada (kitab-kitab) yang diturunkan kepada Kami dan yang diturunkan kepadamu;
Tuhan Kami dan Tuhanmu adalah satu; dan Kami hanya kepada-Nya berserah
diri".[3]
3.
Metode
Pendidikan Berdasarkan Surah An-Nahl ayat 125
a)
Bil
Hikmah (بالØكمة)
ادْعُ Ø¥ِÙ„َÙ‰ٰ سَبِيلِ رَبِّÙƒَ بِالْØِÙƒْÙ…َØ©ِ
“Serulah
manusia kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah”
Ayat
di atas mengandung makna perintah, dengan adanya kata ادع Allah
memerintahkan untuk menyeru kepada manusia kepada jalan yang benar dengan cara
hikmah. Oleh karena mengandung pengertian perintah. Maka lafadz itu memberi
pengertian keharusan (wajib). Dengan demikian perintah ini menjadi wajib untuk
dilaksanakan yaitu: mengajak manusia dengan jalan hikmah.
Menurut
Syekh Musthafa Al Maraghi dalam tafsir Al Maraghi mengatakan bahwa hikmah
adalah ungkapan yang jelas dan tegas disertai dengan dalil yang dapat
mempertegas kebenaran apa yang dipaparkan, dan dapat menghilangkan
keragu-raguan.
Berdasarkan
penafsiran para mufasir hikmah mengandung makna sebagai berikut:
i.
Perkataan yang kuat
disertai dalil yang menjelaskan kebenaran dan menghilangkan kesalahpahaman
ii.
Pengetahuan tentang rahasia
dan faedah segala sesuatu. Dengan pengetahuan sesuatu itu dapat diyakini
keadaannya/pengetahuan itu memberi manfaat.
iii.
Perkataan yang tepat dan
benar yang menjadi dalil (argumen) untuk menjelaskan mana yang hak dan mana
yang bathil.
iv.
Mengetahui hukum-hukum
Al-Qur'an, paham Al-Qur'an, paham agama, takut kepada Allah, benar perkataan
dan perbuatan.
v.
Tutur kata yang
mempengaruhi jiwa
vi.
Akal budi yang mulia, dada
yang lapang dan hati yang bersih. Menarik perhatian orang kepada agama
(kepercayaan terhadap Tuhan)
vii.
Perkataan yang tegas dan
benar
Dengan
demikian bila diaplikasikan ke dalam pendidikan Islam, maka hikmah dapat
digunakan sebagai salah satu metode pendidikan agama Islam Dari penafsiran
mufasir di atas, dapat disimpulkan bahwa hikmah mengandung arti
pengetahuan yang dalam yang menjelaskan kebenaran serta menghilangkan
kesalahpahaman melalui tutur kata yang tegas dan benar serta mempengaruhi jiwa,
akal budi yang mulia, dada yang lapang dan hati yang bersih.
Metode
hikmah mewujudkan suasana kondusif yang memungkinkan terjadinya interaksi
edukatif yang menyentuh siswa untuk dapat menerima dan memahami serta mendorong
semangat belajar, melalui terwujudnya komunikasi baik antara pendidik dan
peserta didik. Dimana pembinaan karakter peserta didik dan kewibawaan pendidik
tetap terjaga.
b)
Al-Mau'izhoh
al-hasanah (والموعضة الØسنة)
Huruf "wawu" (Ùˆ) pada kalimat di atas adalah huruf athaf, yang menghubungkan
dengan kalimat sesudahnya. Dengan demikian cara kedua dalam menyeru manusia
kepada jalan yang benar adalah dengan cara al-mau'izhoh al-hasanah.
Metode ini yaitu menggugah
hati dan dapat mengena sasaran hati bila ucapan yang disampaikan itu disertai
dengan pengalaman dan keteladanan dari yang menyampaikannya.
Dalam tafsiran para mufasir
bahwa الموعظة الØسنة mengandung arti sebagai berikut:
i.
Pelajaran dan peringatan
ii.
Dalil-dalil yang bersifat
dzanni yang dapat memberi kepuasan kepada orang awam.
iii.
Pendidikan dengan bahasa
yang lemah lembut sehingga memberikan ketentraman.
iv.
Pendidikan yang baik yang
disambut oleh akal yang sejahtera dan diterima oleh tabi'at manusia yang benar
v.
Nasehat yang baik.
Berdasarkan
dari beberapa tafsir, al-mau'izhoh hasanah mengandung arti
pendidikan/nasihat (baik pelajaran atau peringatan), dengan cara lemah lembut
sehingga dapat diterima dan menimbulkan ketenangan dan ketentraman jiwa bukan
kecemasan, gelisah atau ketakutan".
Dengan
demikian dapat dipahami bahwa memberikan nasihat itu tidak mudah. Mau'izhoh
hasanah tidak hanya terbatas pada nasihat tetapi perlu dapat dilaksanakan
secara terencana, bertahap dan bertanggung jawab, artinya pemberi nasihat
(pendidik) memahami etika yang baik dalam memberikan nasihat, dilakukan
berulang-ulang dan teraplikasikan dengan baik..
Mauizhoh hasanah merupakan
salah satu metode pendidikan Islam, yang memberikan penyucian dan pembersihan
rohani/jiwa, yang memungkinkan peserta didik menerima, memahami dan menghayati
terhadap materi yang disampaikan. untuk menjadi hamba yang mendapat keridhoan
Allah SWT. Dalam kehidupan di dunia dan di akhirat.
c)
Wajadilhum
Bil-lati Hiya Ahsan (جادلهم بالتى هي اØسن)
Esensi dari ayat di atas
adalah, bahwa Allah SWT memerintahkan bermujadalah (berdebat) dengan cara yang
baik. Apa yang disampaikan tetap dalam kesopanan, dengan menggunakan argument
yang benar, dengan demikian lawan debat tidak merasa kalah dan yang mengajak
debat walau menang tetapi juga jangan sampai merasa menang dan hebat.[4]
Berdasarkan penafsiran para
mufassir, dapat diketahui bahwa mujadalah bi al-lati hiya ahsan,
mengandung arti sebagai berikut:
i.
Bantahan yang lebih baik,
dengan memberi manfaat, bersikap lemah lembut, perkataan yang baik, bersikap
tenang dan hati-hati, menahan amarah serta lapang dada.
ii.
Percakapan dan perdebatan
untuk memuaskan penantang.
iii.
Perdebatan yang baik, yaitu
membawa mereka berpikir untuk menemukan kebenaran, menciptakan suasana yang
nyaman dan santai serta saling menghormati
iv.
Perbantahan atau pertukaran
pikiran dengan baik yaitu tidak menyakiti hati dan menggunakan akal yang sehat.
Berkenaan dengan pengertian jadala,
para ulama mengartikan jadala dengan bertukar pikiran
(berdialog), termasuk dengan cara saling mengalahkan argumentasi lawan. Dengan
demikian asumsi sementara bila di dalam Al-Qur'an terdapat dialog dan ada usaha
saling mematahkan lawan dan bersifat keras. maka dialog tersebut sebagai jadal atau mujadalah.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa mujadalah di
sini mengandung makna sebagai proses penyampaian materi melalui diskusi atau
perdebatan, bertukar pikiran dengan menggunakan cara yang terbaik, sopan
santun, saling menghormati dan menghargai serta tidak arogan. Allah SWT telah
melarang mujadalah yang memiliki unsur pertengkaran dan permusuhan.
Allah
berfirman dalam OS. al-Ankabut ayat 46:
Artinya: "Janganlah
kalian berdebat dengan ahli kitab melainkan dengan cara yang baik....... "
Selanjutnya
dapat di ketahui pula bahwa dalam melakukan mujadalah hendaknya tidak memancing
lawan dengan mengeluarkan kata-kata yang kasar karena tidak sesuai dengan
nilai-nilai etika Islami. Kata-kata serta sikap yang kasar dapat menimbulkan
suasana yang panas, menghindari kesombongan, tinggi hari dan nafsu untuk
menjatuhkan lawan.
Proses
diskusi bertujuan menemukan kebenaran, memfokuskan diri pada pokok
permasalahan. Menggunakan akal sehat dan jernih, menghargai pendapat orang
lain, memahami tema pembahasan, antusias, mengungkapkan dengan baik, dengan
santun, dapat mewujudkan suasana yang nyaman dan santai untuk mencapai
kebenaran serta memuaskan semua pihak. Demikianlah di antaranya mujadalah yang
di kehendaki oleh Al-Qur'an (mujadalah bi al-lati hiya ahsan).
Pendidikan
agama Islam merupakan pendidikan yang memiliki nilai tinggi dalam kehidupan
bermasyarakat. Oleh karena itu diskusi untuk memecahkan suatu permasalahan dan
mencari kebenaran dalam proses pendidikan agama Islam, sangat dianjurkan.
Melalui pemecahan masalah untuk mencari suatu kebenaran dapat mendorong siswa
untuk memiliki pemahaman yang luas dan memuaskan rasa ingin tahunya. Untuk itu
proses diskusi perlu diperhatikan dengan baik.
Di antara materi pendidikan agama Islam akan terasa
lebih bermakna, mudah dan memiliki nilai pengetahuan yang luas apabila
disajikan dalam bentuk diskusi yang islami. Sehingga memberikan nilai plus bagi
murid dengan memperoleh wawasan yang luas, dan keyakinan yang kuat terhadap
pemahaman keagamaan, serta melatih peserta didik agar berbicara dan menjadi
pendengar yang baik.
B.
Surah Al-A'raf 176-177
1. Surah
dan Terjemahannya
176. Dan kalau Kami
menghendaki, Sesungguhnya Kami tinggikan (derajat)nya dengan ayat-ayat itu,
tetapi Dia cenderung kepada dunia dan menurutkan hawa nafsunya yang rendah,
Maka perumpamaannya seperti anjing jika kamu menghalaunya diulurkannya
lidahnya dan jika kamu membiarkannya Dia mengulurkan lidahnya (juga).
demikian Itulah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat kami. Maka
Ceritakanlah (kepada mereka) kisah-kisah itu agar mereka berfikir.
|
177. Amat buruklah perumpamaan orang-orang yang
mendustakan ayat-ayat Kami dan kepada diri mereka sendirilah mereka berbuat
zalim.
|
2. Tafsir
(176)
Dalam ayat ini Allah menjelaskan sekiranya Allah berkehendak mengangkat laki-laki
itu dengan ilmu yang telah diberikan kepadanya ke martabat yang lebih tinggi,
tentulah dia berkuasa berbuat demikian. Tetapi lelaki itu telah menentukan pilihannya
ke jalan yang sesat. Dia menempuh jalan yang berlawanan dengan fitrahnya,
berpaling dari ilmunya sendiri, karena didorong
oleh keingkaran pribadi, yakni kemewahan
hidup duniawi. Dia mengikuti hawa nafsunya dan tergoda oleh setan. Segala petunjuk
dari Allah dilupakannya, suara hati nuraninya tidak didengarnya lagi.
Semestinya,
orang yang diberi ilmu dan kecakapan itu, meningkatkan kejiwaannya, menempatkan
dirinya ketingkat kesempurnaan, mengisi ilmu dan imannya dengan perbuatan-perbuatan
yang luhur disertai niat yang ikhlas dan I’tikad yang benar. Tetapi lelaki itu setelah
diberi nikmat oleh Allah berupa ilmu pengetahuan tentang keesaan Allah, ia keluar
“seperti ular yang keluar dari lapisan kulit
luarnya dan menanggalkannya untuk selamanya”. Dalam ayat ini dipakai kata ‘insalakha’,
‘kelar dari kulit, selubung atau selongsong’, yakni menanggalkanilmu yang diberikan Allah
kepadanya, dan tetap kafir seperti halnya dia tidak diberi apa-apa. Karena itu,
dalam ayat berikutnya Allah mengumpamakannya seperti anjing yang keadaannya sama
saja diberi beban atau dibiarkan, dia tetap menjulurkan lidahnya. Laki-laki
yang memiliki sifat seperti anjing ini, tergolong manusia yang paling buruk.
Hal
demikian menggambarkan kerakusan terhadap harta benda duniawi. Dia selalu menyibukkan
jiwa dan raganya untuk memburu benda duniawi, sehingga tampak sebagai seorang
yang sedang lapar dan haus tak mengenal puas. Keadaannya seperti anjing yang
menjulurkan lidahnya, tampaknya selalu haus dan lapar tidak mengenal puas menginginkan
air dan makanan.
Demikian
pula perumpamaan kaum yang mendustakan ayat-ayat Allah. Mereka menentangnya, baik
disebabkan kebodohan atau pun karena fanatisme mereka terhadap kebenaran dan meninggalkannya.
Mereka menyadari kebenaran yang dibawa Muhammad, dan mengakui kesesatan dan kesalahan
nenek moyang mereka setelah mereka merenungkan bukti kebenaran yang dibawa oleh
Rasulullah. Tetapi kesadaran dan pengakuan demikian itu lenyap dari jiwa mereka
sebab hawa nafsu mereka yang hanya mengejar kenikmatan duniawi, misalnya ingin kekuasaan
dan kekayaan. KaumYahudi dan kaum musyrikin Arab menolak ayat-ayat Allah karena
mereka ingin memepertahankan kekuasaan dan kepentingan mereka. Mereka takut kehilangan
kenikmatan dan kemewahan hidup. Setan telah menggoda mereka agar tergelincir dari
fitrah kejadian mereka yakni kecenderungan kepada agama tauhid.
(177)
pada ayat ini Allah menegaskan lagi betapa buruknya perumpamaan bagi mereka
yang mendustakan ayat-ayat Allah. Mereka disamakan dengan anjing baik karena kesamaan
kelemahan keduanya yakni mereka tetap dalam kesesatan diberi peringatan atau tidak
diberi peringatan, atau karena kesamaan kebiasaan keduanya. Anjing itu tidak mempunyai
cita-cita kecuali keinginan mendapatmakanan dan kepuasan. Siapa saja yang
meninggalkan ilmu dan iman lalu menjurus kepada hawa nafsu, maka dia serupa dengan
anjing. Orang yang demikian tidak siap lagi berfikir dan merenungkan tentang kebenaran.
Orang yang demikian itu sebenarnya menganiaya diri sendiri.[5]
3. Metode
Pendidikan Berdasarkan
Surah Al-A’raf Ayat 176-177
a) Metode Perumpamaan
Adapun pengertian dari metode perumpamaan adalah penuturan secara
lisan oleh guru terhadap peserta didik yang cara penyampainnya menggunakan
perumpamaan. Seorang pendidik mengumpamakan seekor anjing yang terus
menjulurkan lidahnya. Dalam hal ini seorang pendidik mengajari anak didiknya
untuk senantiasa bersyukur atas semua nikmat yang telah diberikan Allah kepada
kita. Jangan merasa kekurangan, seperti seekor anjing baik itu ketika ia lapar,
haus, berlari, maupun kenyang, ia terus menjulurkan lidahnya. Kebaikan metode
ini diantaranya yaitu :
·
Mempermudah siswa memahami apa yang
disampaikan pendidik
·
Perumpamaan dapat merangsang kesan terhadap
makna yang tersirat dalam perumpamaan tersebut.[6]
b) Metode cerita (kisah)
Dalam hal ini, seorang pendidik mengajarkan kepada muridnya dengan
cara menceritakan kisah tentang seseorang yang tidak pernah merasa puas dengan
apa yang telah di milikinya. Seperti Qorun yang tamak akan harta yang
dimilikinya, sehingga dengan ketamakannya itu, Allah menengglamkannya bersama
hartanya tersebut.
BAB
III
PENUTUP
A. Simpulan
Al-Qur'an surat an-Nahl ayat 125 merupakan ayat yang
mengandung nilai-nilai edukatif tentang metode pendidikan agama Islam.
Berdasarkan penafsiran para mufassir terhadap al-Qur'an surat an-Nahl ayat 125
terdapat tiga metode pendidikan Bil
hikmah, Almau'idzoh hasanah, dan Mujaadalah billatii hiya ahsan.
Dan Surah Al-A’raf ayat 176-177 memberikan perempumaan tentang
siapapun yang sedemikian dalam pengetahuannya sampai-sampai pengetahuan itu
melekat pada dirinya, seperti melekatnya kulit pada daging. Namun ia menguliti
dirinya sendiri dengan melepaskan tuntutan pengetahuannya. Ia diibaratkan
seekor anjing yang terengah-engah sambil menjulurkan lidahnya sepanjang
hidupnya. Hal ini sama seperti seseorang yang memiliki ilmu pengetahuan tetapi
ia terjerumus karena mengikuti hawa nafsunya. Ia tidak dapat mengendalikan hawa
nafsunya dengan ilmu yang ia miliki. Seharusnya pengetahuan tersebut yang
membentengi dirinya dari perbuatan buruk, tetapi ternyata baik ia sudah
memiliki hiasan dunia ataupun belum, ia terus menerus mengejar dan berusaha
mendapatkan dan menambah hiasan duniawi itu karena yang demikian telah menjadi
sifat bawaannya seperti keadaan anjing tersebut. Sungguh buruk kedaan orang
yang demikian.
B. Saran
Kita sebagai ummat Muslim
khususnya para calon guru nantinya wajib hukumnya untuk menyebarkan ilmu ke
orang lain sesuai dengan cara dan metode yang baik serta efektif agar ilmu yang
kita berikan tersebut dapat diterima dengan baik dan bermanfaat baginya maupun
bagi orang lain.
[1] Ibnu
Katsir. Tafsir Ibnu Katsir. (Beyrut : Daarul Fikri, 1980) hlm.592
[2] Wahbah Al-Zuhaeli, Tafsir Munir.
(Damasqus : Darul Fikri, 1991) hlm. 267
[3] Al-Maraghy, Tafsir Al-Maraghy. Terj. Hery
Noer Ali, dkk. (Semarang : Toha Putra, 1974) hlm. 161-162
[4] Team Guru PAI MA. Qur’an Hadit, (Jakarta: PT. Akik Pustaka,
2014) hlm. 4
[5] Kementerian Agama RI, Al-Qur’an &TafsirnyaJilid III, Jakarta
:LenteraAbadi, 2010, hal. 524-525
[6] M Sudiyono, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Rineka Cipta, 2009),
hlm. 285-286
Al-Maraghy, Hery Noer Ali, dkk. Terj. Tafsir Al-Maraghy. 1974. Semarang : Toha Putra
Al-Zuhaeli, Wahbah Tafsir Munir. 1991. Damasqus : Darul Fikri
Katsir, Ibnu. Tafsir Ibnu Katsir. 1980. Beyrut : Daarul Fikri
Sudiyono, M. Ilmu Pendidikan Islam. 2009. Jakarta: Rineka Cipta.
Team Guru PAI MA. Qur’an Hadits. 2014. Jakarta : PT. Akik Pustaka
Komentar
Posting Komentar