Langsung ke konten utama

Makalah Tafsir Tarbawi - Metode Pendidikan Yang Terkandung dalam Surah An-Nahl ayat 125 dan surah Al-A'raf 176-177

BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang
Pendidikan merupakan suatu hal yang sangat penting dalam kehidupan manusia, karena dengan pendidikan manusia akan mampu mengembangkan potensi yang dimilikinya. Kemampuan yang dimiliki manusia mampu berinteraksi dengan lingkungannya baik lingkungan fisik, maupun lingkungan sosial, menempatkan peranan, posisi, tugas dan tanggung jawab sebagai makhluk sosial.
Pendidikan merupakan suatu wadah untuk menciptakan interaksi antara pendidikan dan anak didik yang didalamnya mengandung nilai, kedua-duanya mempunyai tugas, posisi dan tanggung jawab yang berbeda. Pendidikan bertanggung jawab untuk mengantarkan anak didik kearah kedewasaan susila yang cakap dengan memberikan sejumlah ilmu pengetahuan dan dengan bantuan dan bimbingan dari pendidik.
Dalam dunia proses belajar mengajar yang disingkat menjadi PBM, sebuah ungkapan popular kita kenal dengan "metode jauh lebih penting dari materi” demikian urgennya metode dalam proses pendidikan dan pendidikan.
Urgensi metode pendidikan berasal dari kenyataan yang menunjukan bahwa materi kurikulum pendidikan Islam tidak akan dapat diajarkan melainkan di berikan dengan cara khusus. Ketidaktepatan dalam penerapan metode ini, kiranya akan menghambat proses belajar mengajar dan akan berakibat membuang waktu dan tenaga, maka dari itu seorang pendidik dihimbau untuk selalu memberikan metode pendidikan yang disyariatkan oleh al-Qur'an. Salah satu metode pendidikan yang perlu dikembangkan termuat dalam surah An-Nahl ayat 125 dan surah Al-A'raf 176-177.
B.     Rumusan Masalah
1.      Apa saja Kandungan yang Terkandung Dalam Surah An-Nahl ayat 125 dan surah Al-A'raf 176-177 ?
2.      Bagaimana Metode Pendidikan Yang Terkandung dalam Surah An-Nahl ayat 125 dan surah Al-A'raf 176-177 ?
C.    Tujuan
1.      Dapat Mengetahui dan Memahami Kandungan yang Terkandung Dalam Surah An-Nahl ayat 125 dan surah Al-A'raf ayat 176-177.
2.      Dapat Mengetahui dan Memahami Metode Pendidikan Yang Terkandung dalam Surah An-Nahl ayat 125 dan surah Al-A’raf ayat 176-177.
BAB II
ISI

A.    Surah An-Nahl ayat 125
1.     

125. Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.[1]

Surah dan Terjemahannya



2.      Tafsir
a)      Tafsir Ibnu Katsir
Allah SWT berfirman, memerintahkan Rasul-Nya Muhammad saw untuk menyeru makhluk ke jalan Allah dengan cara hikmah (perkataan yang tegas dan benar). Ibnu Jarir berkata, “dan demikianlah apa yang diturunkan Allah kepada Muhammad dari kitab, sunnah dan pelajaran yang baik, yaitu tentang sesuatu yang di dalamnya terdapat larangan dan ketetapan bagi manusia. Mengingatkan mereka dengan itu semua (al-Kitab, sunnah dan mauizhoh) agar mereka takut akan siksa Allah SWT.[1]
b)      Tafsir Munir
Ajaklah kepada jalan Tuhanmu ya... Muhammad (kepada agama Allah) dengan Hikmah dengan ucapan kebijaksanaan. Ini adalah merupakan dalil yang bersih yang benar dari penyerupaan-penyerupaan yang keliru. Adapun yang disebut dengan nasehat yang baik adalah nasehat-nasehat dan pelajaran-pelajaran yang bermanfaat dan perkataan yang bercahaya. Telah berkata Imam Baidhowi yang dimaksud dengan: “Hikmah adalah: seruan atau ajakan yang has kepada umat yang sedang belajar yang dituntut kepada kebenaran”. Al-Mau'idhoh adalah: pendidikan atau seruan kepada kaum awam. Jadilhum Billati Hiya Ahsan adalah: maka debatlah mereka dengan yang lebih baik (sebaik-baik debat), yaitu perdebatan sambil menyeru mereka dengan jalan yang lebih baik. Berbagai jalan perdebatan itu antara lain: Debat dengan cara halus, debat dengan penuh kasih sayang, dan perdebatan yang meninggalkan artinya semudah-mudahnya cara untuk membangun dalil-dalil yang harus dipersembahkan dan dikedepankan.[2]
c)      Tafsir Musthafa Al Maraghi
Hai Rasul, serulah orang-orang yang kau diutus kepada mereka dengan cara menyeru mereka kepada syari’at yang telah digariskan Allah bagi makhluk-Nya melalui wahyu yang diberikan kepadaMu, dan memberi mereka pelajaran dan peringatan yang diletakkan di dalam kitab-Nya sebagai hujah atas mereka, serta selalu diingatkan kepada mereka, seperti diulang-ulang dalam surat ini. Dan bantahlah mereka dengan bantahan yang lebih baik daripada bantahan lainnya seperti memberi maaf kepada mereka jika mereka mengotori kehormatanmu serta bersikaplah lemah lembut terhadap mereka dengan menyampaikan kata-kata yang baik, sebagaimana firman Allah di dalam ayat lain:
Dan janganlah kamu berdebat dengan Ahli Kitab, melainkan dengan cara yang paling baik, kecuali dengan orang-orang zalim di antara mereka, dan Katakanlah: "Kami telah beriman kepada (kitab-kitab) yang diturunkan kepada Kami dan yang diturunkan kepadamu; Tuhan Kami dan Tuhanmu adalah satu; dan Kami hanya kepada-Nya berserah diri".[3]
3.      Metode Pendidikan Berdasarkan Surah An-Nahl ayat 125
a)      Bil Hikmah (بالحكمة)
ادْعُ Ø¥ِÙ„َÙ‰ٰ سَبِيلِ رَبِّÙƒَ بِالْØ­ِÙƒْÙ…َØ©ِ
“Serulah manusia kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah”

Ayat di atas mengandung makna perintah, dengan adanya kata Ø§Ø¯Ø¹ Allah memerintahkan untuk menyeru kepada manusia kepada jalan yang benar dengan cara hikmah. Oleh karena mengandung pengertian perintah. Maka lafadz itu memberi pengertian keharusan (wajib). Dengan demikian perintah ini menjadi wajib untuk dilaksanakan yaitu: mengajak manusia dengan jalan hikmah.
Menurut Syekh Musthafa Al Maraghi dalam tafsir Al Maraghi mengatakan bahwa hikmah adalah ungkapan yang jelas dan tegas disertai dengan dalil yang dapat mempertegas kebenaran apa yang dipaparkan, dan dapat menghilangkan keragu-raguan.
Berdasarkan penafsiran para mufasir hikmah mengandung makna sebagai berikut:
                                   i.            Perkataan yang kuat disertai dalil yang menjelaskan kebenaran dan menghilangkan kesalahpahaman
                                 ii.            Pengetahuan tentang rahasia dan faedah segala sesuatu. Dengan pengetahuan sesuatu itu dapat diyakini keadaannya/pengetahuan itu memberi manfaat.
                               iii.            Perkataan yang tepat dan benar yang menjadi dalil (argumen) untuk menjelaskan mana yang hak dan mana yang bathil.
                               iv.            Mengetahui hukum-hukum Al-Qur'an, paham Al-Qur'an, paham agama, takut kepada Allah, benar perkataan dan perbuatan.
                                 v.            Tutur kata yang mempengaruhi jiwa
                               vi.            Akal budi yang mulia, dada yang lapang dan hati yang bersih. Menarik perhatian orang kepada agama (kepercayaan terhadap Tuhan)
                             vii.            Perkataan yang tegas dan benar
Dengan demikian bila diaplikasikan ke dalam pendidikan Islam, maka hikmah dapat digunakan sebagai salah satu metode pendidikan agama Islam Dari penafsiran mufasir di atas, dapat disimpulkan bahwa hikmah mengandung arti pengetahuan yang dalam yang menjelaskan kebenaran serta menghilangkan kesalahpahaman melalui tutur kata yang tegas dan benar serta mempengaruhi jiwa, akal budi yang mulia, dada yang lapang dan hati yang bersih.
Metode hikmah mewujudkan suasana kondusif yang memungkinkan terjadinya interaksi edukatif yang menyentuh siswa untuk dapat menerima dan memahami serta mendorong semangat belajar, melalui terwujudnya komunikasi baik antara pendidik dan peserta didik. Dimana pembinaan karakter peserta didik dan kewibawaan pendidik tetap terjaga.
b)      Al-Mau'izhoh al-hasanah (والموعضة الحسنة)
Huruf "wawu" (Ùˆ) pada kalimat di atas adalah huruf athaf, yang menghubungkan dengan kalimat sesudahnya. Dengan demikian cara kedua dalam menyeru manusia kepada jalan yang benar adalah dengan cara al-mau'izhoh al-hasanah.
Metode ini yaitu menggugah hati dan dapat mengena sasaran hati bila ucapan yang disampaikan itu disertai dengan pengalaman dan keteladanan dari yang menyampaikannya.
Dalam tafsiran para mufasir bahwa Ø§Ù„موعظة الحسنة mengandung arti sebagai berikut:
                                      i.            Pelajaran dan peringatan
                                    ii.            Dalil-dalil yang bersifat dzanni yang dapat memberi kepuasan kepada orang awam.
                                  iii.            Pendidikan dengan bahasa yang lemah lembut sehingga memberikan ketentraman.
                                  iv.            Pendidikan yang baik yang disambut oleh akal yang sejahtera dan diterima oleh tabi'at manusia yang benar
                                    v.            Nasehat yang baik.
Berdasarkan dari beberapa tafsir, al-mau'izhoh hasanah mengandung arti pendidikan/nasihat (baik pelajaran atau peringatan), dengan cara lemah lembut sehingga dapat diterima dan menimbulkan ketenangan dan ketentraman jiwa bukan kecemasan, gelisah atau ketakutan".
Dengan demikian dapat dipahami bahwa memberikan nasihat itu tidak mudah. Mau'izhoh hasanah tidak hanya terbatas pada nasihat tetapi perlu dapat dilaksanakan secara terencana, bertahap dan bertanggung jawab, artinya pemberi nasihat (pendidik) memahami etika yang baik dalam memberikan nasihat, dilakukan berulang-ulang dan teraplikasikan dengan baik..
Mauizhoh hasanah merupakan salah satu metode pendidikan Islam, yang memberikan penyucian dan pembersihan rohani/jiwa, yang memungkinkan peserta didik menerima, memahami dan menghayati terhadap materi yang disampaikan. untuk menjadi hamba yang mendapat keridhoan Allah SWT. Dalam kehidupan di dunia dan di akhirat.
c)      Wajadilhum Bil-lati Hiya Ahsan (جادلهم بالتى هي احسن)
Esensi dari ayat di atas adalah, bahwa Allah SWT memerintahkan bermujadalah (berdebat) dengan cara yang baik. Apa yang disampaikan tetap dalam kesopanan, dengan menggunakan argument yang benar, dengan demikian lawan debat tidak merasa kalah dan yang mengajak debat walau menang tetapi juga jangan sampai merasa menang dan hebat.[4]
Berdasarkan penafsiran para mufassir, dapat diketahui bahwa mujadalah bi al-lati hiya ahsan, mengandung arti sebagai berikut:
                                   i.            Bantahan yang lebih baik, dengan memberi manfaat, bersikap lemah lembut, perkataan yang baik, bersikap tenang dan hati-hati, menahan amarah serta lapang dada.
                                 ii.            Percakapan dan perdebatan untuk memuaskan penantang.
                               iii.            Perdebatan yang baik, yaitu membawa mereka berpikir untuk menemukan kebenaran, menciptakan suasana yang nyaman dan santai serta saling menghormati
                               iv.            Perbantahan atau pertukaran pikiran dengan baik yaitu tidak menyakiti hati dan menggunakan akal yang sehat.
Berkenaan dengan pengertian jadala, para ulama mengartikan jadala dengan bertukar pikiran (berdialog), termasuk dengan cara saling mengalahkan argumentasi lawan. Dengan demikian asumsi sementara bila di dalam Al-Qur'an terdapat dialog dan ada usaha saling mematahkan lawan dan bersifat keras. maka dialog tersebut sebagai jadal atau mujadalah.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa mujadalah di sini mengandung makna sebagai proses penyampaian materi melalui diskusi atau perdebatan, bertukar pikiran dengan menggunakan cara yang terbaik, sopan santun, saling menghormati dan menghargai serta tidak arogan. Allah SWT telah melarang  mujadalah yang memiliki unsur pertengkaran dan permusuhan.
Allah berfirman dalam OS. al-Ankabut ayat 46:
Artinya: "Janganlah kalian berdebat dengan ahli kitab melainkan dengan cara yang baik....... "
Selanjutnya dapat di ketahui pula bahwa dalam melakukan mujadalah hendaknya tidak memancing lawan dengan mengeluarkan kata-kata yang kasar karena tidak sesuai dengan nilai-nilai etika Islami. Kata-kata serta sikap yang kasar dapat menimbulkan suasana yang panas, menghindari kesombongan, tinggi hari dan nafsu untuk menjatuhkan lawan.
Proses diskusi bertujuan menemukan kebenaran, memfokuskan diri pada pokok permasalahan. Menggunakan akal sehat dan jernih, menghargai pendapat orang lain, memahami tema pembahasan, antusias, mengungkapkan dengan baik, dengan santun, dapat mewujudkan suasana yang nyaman dan santai untuk mencapai kebenaran serta memuaskan semua pihak. Demikianlah di antaranya mujadalah yang di kehendaki oleh Al-Qur'an (mujadalah bi al-lati hiya ahsan).
Pendidikan agama Islam merupakan pendidikan yang memiliki nilai tinggi dalam kehidupan bermasyarakat. Oleh karena itu diskusi untuk memecahkan suatu permasalahan dan mencari kebenaran dalam proses pendidikan agama Islam, sangat dianjurkan. Melalui pemecahan masalah untuk mencari suatu kebenaran dapat mendorong siswa untuk memiliki pemahaman yang luas dan memuaskan rasa ingin tahunya. Untuk itu proses diskusi perlu diperhatikan dengan baik.
Di antara materi pendidikan agama Islam akan terasa lebih bermakna, mudah dan memiliki nilai pengetahuan yang luas apabila disajikan dalam bentuk diskusi yang islami. Sehingga memberikan nilai plus bagi murid dengan memperoleh wawasan yang luas, dan keyakinan yang kuat terhadap pemahaman keagamaan, serta melatih peserta didik agar berbicara dan menjadi pendengar yang baik.
B.     Surah Al-A'raf 176-177
1.      Surah dan Terjemahannya

176. Dan kalau Kami menghendaki, Sesungguhnya Kami tinggikan (derajat)nya dengan ayat-ayat itu, tetapi Dia cenderung kepada dunia dan menurutkan hawa nafsunya yang rendah, Maka perumpamaannya seperti anjing jika kamu menghalaunya diulurkannya lidahnya dan jika kamu membiarkannya Dia mengulurkan lidahnya (juga). demikian Itulah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat kami. Maka Ceritakanlah (kepada mereka) kisah-kisah itu agar mereka berfikir.


177.  Amat buruklah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami dan kepada diri mereka sendirilah mereka berbuat zalim.
2.      Tafsir
(176) Dalam ayat ini Allah menjelaskan sekiranya Allah berkehendak mengangkat laki-laki itu dengan ilmu yang telah diberikan kepadanya ke martabat yang lebih tinggi, tentulah dia berkuasa berbuat demikian. Tetapi lelaki itu telah menentukan pilihannya ke jalan yang sesat. Dia menempuh jalan yang berlawanan dengan fitrahnya, berpaling dari ilmunya sendiri,  karena didorong oleh keingkaran pribadi,  yakni kemewahan hidup duniawi. Dia mengikuti hawa nafsunya dan tergoda oleh setan. Segala petunjuk dari Allah dilupakannya, suara hati nuraninya tidak didengarnya lagi.
Semestinya, orang yang diberi ilmu dan kecakapan itu, meningkatkan kejiwaannya, menempatkan dirinya ketingkat kesempurnaan, mengisi ilmu dan imannya dengan perbuatan-perbuatan yang luhur disertai niat yang ikhlas dan I’tikad yang benar. Tetapi lelaki itu setelah diberi nikmat oleh Allah berupa ilmu pengetahuan tentang keesaan Allah, ia keluar  “seperti ular yang keluar dari lapisan kulit luarnya dan menanggalkannya untuk selamanya”.  Dalam ayat ini dipakai kata ‘insalakha’, ‘kelar dari kulit, selubung atau selongsong’,  yakni menanggalkanilmu yang diberikan Allah kepadanya, dan tetap kafir seperti halnya dia tidak diberi apa-apa. Karena itu, dalam ayat berikutnya Allah mengumpamakannya seperti anjing yang keadaannya sama saja diberi beban atau dibiarkan, dia tetap menjulurkan lidahnya. Laki-laki yang memiliki sifat seperti anjing ini, tergolong manusia yang paling buruk.
Hal demikian menggambarkan kerakusan terhadap harta benda duniawi. Dia selalu menyibukkan jiwa dan raganya untuk memburu benda duniawi, sehingga tampak sebagai seorang yang sedang lapar dan haus tak mengenal puas. Keadaannya seperti anjing yang menjulurkan lidahnya, tampaknya selalu haus dan lapar tidak mengenal puas menginginkan air dan makanan.
Demikian pula perumpamaan kaum yang mendustakan ayat-ayat Allah. Mereka menentangnya, baik disebabkan kebodohan atau pun karena fanatisme mereka terhadap kebenaran dan meninggalkannya. Mereka menyadari kebenaran yang dibawa Muhammad, dan mengakui kesesatan dan kesalahan nenek moyang mereka setelah mereka merenungkan bukti kebenaran yang dibawa oleh Rasulullah. Tetapi kesadaran dan pengakuan demikian itu lenyap dari jiwa mereka sebab hawa nafsu mereka yang hanya mengejar kenikmatan duniawi, misalnya ingin kekuasaan dan kekayaan. KaumYahudi dan kaum musyrikin Arab menolak ayat-ayat Allah karena mereka ingin memepertahankan kekuasaan dan kepentingan mereka. Mereka takut kehilangan kenikmatan dan kemewahan hidup. Setan telah menggoda mereka agar tergelincir dari fitrah kejadian mereka yakni kecenderungan kepada agama tauhid.
(177) pada ayat ini Allah menegaskan lagi betapa buruknya perumpamaan bagi mereka yang mendustakan ayat-ayat Allah. Mereka disamakan dengan anjing baik karena kesamaan kelemahan keduanya yakni mereka tetap dalam kesesatan diberi peringatan atau tidak diberi peringatan, atau karena kesamaan kebiasaan keduanya. Anjing itu tidak mempunyai cita-cita kecuali keinginan mendapatmakanan dan kepuasan. Siapa saja yang meninggalkan ilmu dan iman lalu menjurus kepada hawa nafsu, maka dia serupa dengan anjing. Orang yang demikian tidak siap lagi berfikir dan merenungkan tentang kebenaran. Orang yang demikian itu sebenarnya menganiaya diri sendiri.[5]
3.      Metode Pendidikan Berdasarkan Surah Al-A’raf Ayat 176-177
a)      Metode Perumpamaan
Adapun pengertian dari metode perumpamaan adalah penuturan secara lisan oleh guru terhadap peserta didik yang cara penyampainnya menggunakan perumpamaan. Seorang pendidik mengumpamakan seekor anjing yang terus menjulurkan lidahnya. Dalam hal ini seorang pendidik mengajari anak didiknya untuk senantiasa bersyukur atas semua nikmat yang telah diberikan Allah kepada kita. Jangan merasa kekurangan, seperti seekor anjing baik itu ketika ia lapar, haus, berlari, maupun kenyang, ia terus menjulurkan lidahnya. Kebaikan metode ini diantaranya yaitu :
·         Mempermudah siswa memahami apa yang disampaikan pendidik
·         Perumpamaan dapat merangsang kesan terhadap makna yang tersirat dalam perumpamaan tersebut.[6]
b)      Metode cerita (kisah)
Dalam hal ini, seorang pendidik mengajarkan kepada muridnya dengan cara menceritakan kisah tentang seseorang yang tidak pernah merasa puas dengan apa yang telah di milikinya. Seperti Qorun yang tamak akan harta yang dimilikinya, sehingga dengan ketamakannya itu, Allah menengglamkannya bersama hartanya tersebut.























BAB III
PENUTUP
A.    Simpulan
Al-Qur'an surat an-Nahl ayat 125 merupakan ayat yang mengandung nilai-nilai edukatif tentang metode pendidikan agama Islam. Berdasarkan penafsiran para mufassir terhadap al-Qur'an surat an-Nahl ayat 125 terdapat tiga metode pendidikan Bil hikmah, Almau'idzoh hasanah, dan Mujaadalah billatii hiya ahsan.
Dan Surah Al-A’raf ayat 176-177 memberikan perempumaan tentang siapapun yang sedemikian dalam pengetahuannya sampai-sampai pengetahuan itu melekat pada dirinya, seperti melekatnya kulit pada daging. Namun ia menguliti dirinya sendiri dengan melepaskan tuntutan pengetahuannya. Ia diibaratkan seekor anjing yang terengah-engah sambil menjulurkan lidahnya sepanjang hidupnya. Hal ini sama seperti seseorang yang memiliki ilmu pengetahuan tetapi ia terjerumus karena mengikuti hawa nafsunya. Ia tidak dapat mengendalikan hawa nafsunya dengan ilmu yang ia miliki. Seharusnya pengetahuan tersebut yang membentengi dirinya dari perbuatan buruk, tetapi ternyata baik ia sudah memiliki hiasan dunia ataupun belum, ia terus menerus mengejar dan berusaha mendapatkan dan menambah hiasan duniawi itu karena yang demikian telah menjadi sifat bawaannya seperti keadaan anjing tersebut. Sungguh buruk kedaan orang yang demikian.
B.     Saran
Kita sebagai ummat Muslim khususnya para calon guru nantinya wajib hukumnya untuk menyebarkan ilmu ke orang lain sesuai dengan cara dan metode yang baik serta efektif agar ilmu yang kita berikan tersebut dapat diterima dengan baik dan bermanfaat baginya maupun bagi orang lain.




[1] Ibnu Katsir. Tafsir Ibnu Katsir. (Beyrut : Daarul Fikri, 1980) hlm.592
[2] Wahbah Al-Zuhaeli, Tafsir Munir. (Damasqus : Darul Fikri, 1991) hlm. 267
[3] Al-Maraghy, Tafsir Al-Maraghy. Terj. Hery Noer Ali, dkk. (Semarang : Toha Putra, 1974) hlm. 161-162
[4] Team Guru PAI MA. Qur’an Hadit, (Jakarta: PT. Akik Pustaka, 2014) hlm. 4
[5] Kementerian Agama RI, Al-Qur’an &TafsirnyaJilid III, Jakarta :LenteraAbadi, 2010, hal. 524-525
[6] M Sudiyono, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Rineka Cipta, 2009), hlm. 285-286




Al-Maraghy, Hery Noer Ali, dkk. Terj. Tafsir Al-Maraghy.  1974. Semarang : Toha Putra
Al-Zuhaeli, Wahbah Tafsir Munir. 1991. Damasqus : Darul Fikri
Katsir, Ibnu. Tafsir Ibnu Katsir. 1980.  Beyrut : Daarul Fikri
Sudiyono, M. Ilmu Pendidikan Islam. 2009. Jakarta: Rineka Cipta.
Team Guru PAI MA. Qur’an Hadits. 2014.  Jakarta : PT. Akik Pustaka

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Amar dan Nahi

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Memahami redaksi Al-Qur’an dan Al-Hadits bagaikan  menyelam ke dalam samudra yang dalam lagi luas, dibutuhkan kunci, metode dan keilmuan khusus untuk sampai ke sana sehingga kita bisa mengetahui maksud dan tujuan nash al-Qur’an dan Al-Hadits baik dari sudut teks maupun dari aspek makna. Di antara beberapa pembahasan yang berkaitan dengan hal tersebut, ada dua point penting yang keduanya harus diketahui secara mendalam oleh seorang calon Mujtahid. Objek utama yang akan dibahas dalam ushul fiqh adalah al-Qur’an dan sunnah Rasul sedang untuk memahami teks-teks dan sumber yang berbahasa Arab tersebut para ulama  telah menyusun semacam tematik yang akan digunakan dalam praktik penalaran fikih. Bahasa Arab menyampaikan suatu pesan dengan berbagai cara dan dalam berbagai tingkat kejelasan. Untuk itu para ahlinya telah membuat beberapa kategori lafal atau redaksi, di antara yang sangat penting dan akan dikemukakan disini. Antara lain tentang Am a r

Prasangka dan Diskriminasi, Pertentangan dan Integrasi Sosial

A.   Prasangka dan Diskriminasi 1.     Pengertian Prasangka Prasangka atau prejudice berasal dari kata latin prejudicium ,yang pengertiannya sekarang mengalami perkembangan sebagai berikut:  ·   Semula diartikan sebagai suatu preseden, artinya keputusan diambil atas dasar pengalaman yang lalu. ·   Dalam bahasa inggris mengandung arti pengambilan keputusan tanpa penelitian dan pertimbangan yang cermat, tergesa-gesa atau tidak matang.  ·   Untuk mengatakan prasangka dipersyaratkan pelibatan unsur emosional(suka-tidak suka)dalam keputusan yang telah diambil tersebut. Prasangka merupakan dasar pribadi seseorang yang setiap orang memilikinya, sejak masih kecil unsur sikap bermusuhan sudah nampak. Prasangka selalu ada pada mereka yang berfikirnya sederhana dan masyarakat yang tergolong cendekiawan, sarjana, dan pemimpin atau negarawan. Prasangka menunjukkan pada aspek sikap. Prasangka itu suatu sikap, yaitu sikap sosial. Menurut Morgan (1966), sikap adalah kecenderungan untuk

Pendekatan Pendidikan Aqidah

BAB I PENDAHULUAN 1. 1. Latar Belakang Pendidikan aqidah sangat penting bagi kita apalagi kita sebagai pemeluk agama Islam harus mengerti tentang aqidah  Untuk itu kita perlu mempelajarinya sehingga kita mengerti dan bisa menjalankannya dalam kehidupan kita sehari-hari dan setelah kita memahaminya kita bisa memberitahukannya kepada orang lain yang belum tahu. Dan sebelum kita memberitahukan tentang aqidah kepada orang lain akan lebih baik jika kita mengetahui benuk-bentuk pendekatan pendidikan aqidah. Adapun bentuk-bentuk pendekatan pendidikan aqidah tersebut akan kami bahas dalam makalah ini. 1 . 2 .  Rumusan masalah 1. Apa yang dimaksud dengan pendekatan pendidikan aqidah? 2. Apa saja bentuk-bentuk pendekatan pendidikan aqidah? 3. Jelaskan bentuk-bentuk pendekatan pendidikan aqidah? 1 .3 Tujuan 1. Memahami maksud dari pendekatan pendidikan aqidah. 2.Mengetahui bentuk-bentuk pendekatan pendidikan aqidah. 3. Memahami bentuk-bentuk pendekatan pendidikan aqi