Langsung ke konten utama

Masalah Individu, Keluarga dan Masyarakat


A.    Individu
Kata “Individu” berasal dari kata latin yakni individuum,  yang memiliki arti “yang tak terbagi”, jadi merupakan suatu sebutan yang dapat dipakai untuk menyatakan suatu kesatuan yang paling kecil dan terbatas, individu bukan berarti manusia sebagai suatu keseluruhan yang tak dibagi, melainkan sebagai manusia perorangan sehingga sering disebut “orang seorang” atau “manusia perorangan” Demikian pendapat Dr. A. Lysen.[1]
Menurut ilmu jiwa pada anak usia dua bulan daalam kandungan telah mempunyai ikatan psikis dengan ibu kandungnya. Apabila tidak ada hubungan psikis tersebut perkembangan calon bayi akan terhambat. Setelah ia dilahirkan bayi membutuhkan kasih sayang ibu dan pergaulan dengan lingkungan keluarga. Kemudian ia mengenal lingkungan masyarakat di luar rumah, ia tidak hanya menerima kontak sosial tetapi juga memberi kontak sosial. Ia telah mampu mengadaptasikan dirinya dengan kondisi kelompok sosialnya. Dalam interaksi sosial manusia sebagai makhluk individu dapat merealisasikan pola hidupnya secara individu.
Perkembangan individu menjadi seorang pribadi, tidak hanya didukung dan dihambat oleh dirinya sendiri, melainkan juga didukung dan dihambat oleh kelompok sekitarnya. Kondisi fisik di sekitarnya juga besar pengaruhnya terhadap perkembangan pribadi sesorang. Kelengkapan dan keserasian anggota tubuh, ketajaman pancaindera, susunan jaringan urat syaraf, dan proses kerja hayat lainnya, besar pengaruhnya terhadap pengembangan potensi-potensi seorang individu.
Manusia dikatakan menjadi individu apabila pola tingkah lakunya sudah bersifat spesifik didalam dirinya dan bukan lagi menuruti pola tingkah laku yang umum.Dalam hubungan ini dapat dicirikan,apabila manusia dalam tindakan-tindakannya menjurus kepada kepentingan pribadi,maka disebut manusia sebagai makhluk individu. Sebaliknya,apabila tindakan-tindakannya merupakan hubungan dengan manusia lainya,maka manusia itu dikatakan makhluk sosial.Selama perkembangan manusia menjadi individu,ia pun mengalami bahwa pada dirinya dibebani beberapa peranan.Peranan-peranan ini terutama dari kondisi kebersamaan hidup dengan sesama manusia yang disebut makhluk sosial.Tidak jarang dapat timbul konflik pada diri individu,karena tingkah laku yang spesifik dalam diri bercorak atau bertentangan dengan peranan yang dituntut oleh masyarakat.[2]
Selama perkembangan manusia menjadi individu, ia pun mengalami bahwa kepada dirinya dibebani berbagai peranan. Peranan-peranan ini terutama dari kondisi kebersamaan hidup dengan sesama manusia yang disebut makhluk sosial. Tidak jarang dapat timbul konflik pada diri individu, karena tingkah laku yang spesifik dalam dirinya bercorak atau bertentangan dengan peranan yang dituntut oleh masyarakat. Kalau individu tidak ingin mengingkari dirinya sendiri dengan bertingkah laku menurut pola pribadinya, maka ia pun disebut menyimpang dari norma kolektif. Sebaliknya, jika ia takluk dan menuruti kehendak kolektif dengan cara bertingkah laku seperti apa yang diinginkan oleh lingkungan, maka disebut ia kehilangan individualitasnya.

B.     Keluarga
Keluarga (bahasa Sanskerta: “kulawarga”; “ras” dan “warga” yang berarti “anggota” adalah lingkungan yang terdapat beberapa orang yang masih memiliki hubungan darah.
Di Indonesia sendiri, keluarga telah diatur dalam berbagai peraturan atau undang-undang RI nomor 10 tahun 1992 yang mendefinisikan keluarga sebagai berikut : ”Keluarga merupakan wahana pertama seorang anak mendapatkan pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan bagi kelangsungan hidupnya”.
Keluarga adalah kelompok primer yang paling penting di dalam masyarakat. Keluarga  merupakan sebuah group yang terbentuk dari perhubungan laki-laki dan wanita, perhubungan itu sedikit banyak berlangsung lama untuk menciptakan dan membesarkan anak-anak. Jadi keluarga dalam bentuk yang murni merupakan satu kesatuan sosial yang terdiri dari suami-istri dan anak-anak yang belum dewasa.[3]
Para ahli antropologi melihat keluarga sebagai suatu kesatuan sosial terkecil yang dipunyai oleh manusia sebagai makhluk sosial. Pendapat ini didasarkan atas kenyataan bahwa sebuah keluarga adalah suatu kesatuan kekerabatan yang juga merupakan satuan tempat tinggal yang ditandai oleh adanya kerjasama ekonomi, dan mempunyai fungsi untuk berkembang biak mensosialisasikan atau mendidik anak, menolong serta melindungi yang lemah khususnya merawat orang-orang tua mereka yang telah jompo.
Dalam bentuk yang paling dasar, sebuah keluarga terdiri atas seorang laki-laki dan seorang perempuan, dan ditambah dengan anak-anak mereka yang biasanya tinggal dalam satu rumah yang sama. Satuan satu kelompok seperti itu dalam antropologi dinamakan sebagai keluarga inti. Suatu keluarga ini pada hakekatnya terbentuk oleh adanya suatu hubungan perkawinan yang sah, tetapi tidak selamanya keluarga inti terwujid hanya karena telah disahkan oleh suatu peraturan perkawinan.
Suatu keluarga inti dapat juga menjadi suatu keluarga luas dengan adanya tambahan dari sejumlah orang lain, baik kerabat maupun tidak kerabat, yang secara bersama-sama hidup dalam satu rumah tangga dengan keluarga inti. Orang-orang sekerabat itu bisa berasal dari pihak suami, atau dari pihak isteri. Sedangkan orang lain biasanya adalah pembantu rumah tangga atau buruh-buruh atau pembantu-pembantu. Dengan adanya perkawinan poligami, keluarga inti akan menjadi keluarga luas. Begitu pula apabila dengan adanya solidaritas tinggi terhadap kerabat, maka keluarga inti telah menjadi keluarga luas. Kerabat ialah orang yang dianggap atau digolongkan sebagai mempunyai hubungan keturunan atau darah dengan keluarga inti.



Proses Pembentukan Keluarga :
·         Tahap Pre-Nuptual
Tahap ini merupakan tahap persiapan sebelum dilangsungkannya perkawinan sesuai dengan adat, kebiasaan, tata nilai, dan aturan dalam masyarakat yang bersangkutan. Bentuknya misalnya dapat berupa pelamaran, pertunangan, penentuan hari perkawinan, dan lain-lain. Orang yang akan melangsungkan perkawinan harus memenuhi segala persyaratan baik materiil maupun non-materiil. Materiil misalnya berkaitan dengan mas kawin, dan sebagainya, sedangkan non-materiil biasanya berkaitan dengan kesiapan psikis individu yang akan melangsungkan pernikahan
·         Tahap Nuptual Stage
Tahap ini merupakan tahap inti dilangsungkannya perkawinan yang berupa kesepakatan hidup bersama untuk membina sebuah keluarga sesuai dengan apa yang dicita-citakan.
·         Tahap Child Rearing Stage
Tahap ini merupakan proses pemeliharaan anak-anak sebagai tanggung jawab dari sebuah keluarga untuk membesarkan dan mendewasakan anak-anak, sehingga tercapai tujuan keluarga yang bahagia sesuai dengan tujuan yang diharapkan.
·         Tahap Muturity Stage
Tahap ini merupakan tahap lanjut dimana anak-anak mereka dari buah perkawinannya sudah melangkah dewasa dan siap untuk melangsungkan perkawinan membentuk keluarga baru.
Fungsi keluarga antara lain adalah:
·         Pembentukan kepribadian.
Dalam lingkungan keluarga, para orang tua meletakkan dasar-dasar kepribadian kepada anak-anaknya, dengan tujuan untuk memproduksikan serta melestarikan kepribadian mereka dengan anak cucu dan keturunannya.
Pengalaman-pengalaman dalam interaksi sosial dalam lingkungan keluarga adalah suatu modal dasar dalam membentuk kepribadian seseorang, dan turut menentukan pula tingkah laku seseorang terhadap orang lain, dalam pergaulan di luar lingkungan keluargnya.Alat reproduksi kepribadian-kepribadian yang berakar pada etika, estetika dan moral keagamaan dan kebudayaan yang berkorelasi fungsional.
·         Sebagai Lembaga Perkumpulan Perekonomian
Dalam masyarakat biasanya terdapat sistem kekeluargaan yang sangat luas. Akan tetapi kehidupan perekonomian masih belum berkembang. Pada kelompok-kelompok masyarakat yang lebih kompleks tetapi belum masuk pada era masyarakat industri, perekonomian mereka sudah mulai berkembang. Namun begitu ikatan-ikatan kekeluargaan masih terjalin kuat dan sering mempengaruhi atau menguasai bidang perekonomian mereka. Sebagai perkumpulan perekonomian

·         Sebagai Pusat Pengasuhan dan Pendidikan
Dalam lingkungan masyarakat, untuk keperluan pengasuhan dan pendidikan anak-anak (baik laki-laki ataupun perempuan) dibangun balai pendidikan. Sistem pendidikan semacam ini berlaku dalam lingkungan masyarakat suku pedalaman atau pesisir di Irian Jaya, sebelum tahun 1960-an. Dalam peradaban modern dewasa ini, sistem pendidikan seperti itu sudah jarang didapat. Secara merata sistem pendidikan serupa itu telah diganti oleh sekolah-sekolah.
C.    Masyarakat
Society atau masyarakat yang berasal dari kata Latin socius, yang artinya kawan. Istilah masyarakat dari bahasa Arab syakara yang artinya ikut serta, berpartisipasi.
Dalam arti luas yang dimaksud masyarakat ialah keseluruhan hubungan-hubungan dalam hidup bersama dengan tidak dibatasi lingkungan, bangsa dan lain-lain. Atau: Keseluruhan dari semua hubungan dalam hidup bermasyarakat.
Dalam arti sempit masyarakat dimaksud sekelompok manusia yang dibatasi oleh aspek-aspek tertentu umpamanya: territorial, bangsa, golongan dan sebagainya. Maka ada masyarakat Jawa, masyarakat Sunda, masyarakat Minang dan lain-lain.[4]
Dengan demikian dapatlah dikemukakan bahwa masyarakat merupakan kesetuan hidup manusia yang berinteraksi menurut suatu sistem adat-istiadat tertentu yang bersifat kontinu dan terikat oleh sutu rasa identitas bersama. Selanjutnya, dengan terciptanya sistem adat-istiadat bersama. Selanjutnya, dengan terciptanya sistem adat-istiadat atau sistem bergaul, kemudian diciptakan pula kaidah-kaidah atau norma-norma pergaulan yang akhirnya menciptkan suatu kebudayaan. Koentjaraningrat (1974) menyatakan bahwa masyarakat adalah kesatuan hidup dari makhluk-makhluk manusia yang terikat oleh suatu system adat-istiadat tertentu.
Usaha untuk menggembangkan konsep masyarakat ternyata tidak menghasilkan suatu rumusan yang seragam. Satu aspek yang tampak disepakati bersama adalah masyarakat yang menyangkut setiap kelompok manusia yang hidup bersama. Maka dalam usaha menyamakan pandangan tentang masyarakat ini yang paling penting adalah memberikan butir-butir dan unsur-unsur yang ada dalam masyarakat itu sendiri. Hidup bersama dikatakan sebagai mastarakat apabila mepunyai unsur-unsur sebagai berikut :
·         Manusia yang hidup bersama;
·         Bercampur atau bersama-sama untuk waktu yg cukup lama;
·         Menyadari bahwa mereka merupakan satu kesatuan;
·         Mematuhi terhadap norma-norma atau peraturan-peraturan yang menjadi kesepakatan bersama;
·         Menyadari bahwa mereka bersam-sama diikat oleh perasaan diantara para anggota yang satu dengan yang lainnya; dan
·         Menghasilkan suatu kebudayaan tertentu.
Demikianlah akhirnya bahwa masyarakat mengandung pengertian yang sangat luas dan dapat meliputi seluruh umat manusia. Masyarakat terdiri atas berbagai kelompok besar maupun kecil tergantung dalam jumlah anggotanya. Dua orang atau lebih dapat merupakan kelompok. Dalam pengelompokan sering dibedakan kelompok primer dan kelompok sekunder. Dilihat dari fungsinya ada klompok orang dalam (in-group) dan rang luar (out-group). Semua jenis kelompok diatas hidup dan berkembang ditengah-tengah masyarakat.
Menurut Soewaryo Wangsanegara (1986 : 33), masyarakat berdasarkan perkembangan dan pertumbuhannya dapat digolongkan menjadi:
a)      Masyarakat sederhana (primitif). Pola pembagian kerja cenderung dibedakan menurut jenis kelamin yang didasari atas perbedaan kemampuan fisik.
b)     Masyarakat maju. Kelompok organisasi kemasyarakatan tumbuh dan berkembang berdasarkan kebutuhan serta tujuan yang akan dicapai.

Masyarakat Maju:
·         Masyarakat Non Industri
                                      i.            Kelompok Primer
Kelompok Primer ini disebut juga kelompok “face to face group”, sebab para anggota kelompok sering berdialog, bertatap muka, karena itu saling mengenal lebih dekat, lebih akrab. Sifat interaksinya bersifat kekeluargaan dan lebih berdasarkan simpati. Pembagian kerja/tugas kelompok ini lebih dititikberatkan pada kesadaran, tanggung jawab para anggota dan berlangsung atas dasar rasa simpati dan secara sukarela. Kelompok primer ini adalah lain: keluarga, rukun tetangga, kelompok belajar, kelompok agama, dan lain sebagainya.
                                    ii.            Kelompok Sekunder
Antara anggota kelompok sekunder, terpaut saling hubungan tak langsug, formal, juga kurang bersifat kekeluargaan. Oleh karena itu, sifat interaksi, pembagian kerja, pembagian kerja antar anggota kelompok diatur atas dasar pertimbangan-pertimbangan rasional, obyektif. Contoh-contoh kelompok sekunder, seperti: partai politik, perhimpunan serikat kerja/serikat buruh, organisasi profesi dan sebagainya.
·         Masyarakat Industri
Jika pembagian kerja bertambah kompleks, suatu tanda bahwa kapasitas masyarakat semakin tinggi. Solidaritas didasarkan pada hubungan saling ketergantungan antara kelompok-kelompok masyarakat yang telah mengenal pengkhususan. Otonomi sejenis, juga menjadi ciri dari bagian/kelompok-kelompok masyarakat industri. Otonomi sejenis dapat diartikan dengan kepandaian/keahlian khusus yang dimiliki seseorang secara mandiri, sampai pada batas-batas tertentu. Contoh-contoh: tukang roti, tukang sepatu, tukang bubut, tukang las, ahli mesin, ahli listrik dan ahli dinamo, mereka bekerja secara mandiri.

D.    Hubungan antara Individu, Keluarga dan Masyarakat
Aspek individu, keluarga dan masyarakat adalah aspek-aspek sosial yang tidak bisa dipisahkan. Yakni, tidak akan pernah ada keluarga dan masyarakat apabila tidak ada individu. Sementara di pihak lain untuk mengembangkan eksistensinya sebagai manusia, maka individu membutuhkan keluarga dan masyarakat, yaitu media di mana individu dapat mengekspresikan aspek sosialnya serta menumbuhkembangkan perilakunya. Karena tidak dapat dipungkiri bahwa perilaku sosial suatu individu tersebut bergantung dari keluarga dan masyarakat disekitarnya. Keluarga sebagai lingkungan pertama seorang individu memiliki peran paling besar dalam pembentukan sikap suatu individu, sedang masyarakat merupakan media sosialisasi seorang individu dalam menyampaikan ekspresinya secara lebih luas. Sehingga dapat menjadi suatu tolak ukur apakah sikapnya benar atau salah dalam suatu masyarakat tersebut.

E.     Permasalahan Individu, Keluarga dan Masyarakat
Masalah sosial muncul akibat terjadinya perbedaan yang mencolok antara nilai dalam masyarakat dengan realita yang ada. Yang dapat menjadi sumber masalah sosial yaitu seperti proses sosial dan bencana alam. Adanya masalah sosial dalam masyarakat ditetapkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan khusus seperti tokoh masyarakat, pemerintah, organisasi sosial, musyawarah masyarakat, dan lain sebagainya.
Masalah sosial dapat dikategorikan menjadi 4 (empat) jenis faktor, yakni antara lain :
1.   Faktor Ekonomi : Kemiskinan, pengangguran, dan lain-lain.
2.   Faktor Budaya : Perceraian, kenakalan remaja, dan lain-lain.
3.   Faktor Biologis : Penyakit menular, keracunan makanan, dan sebagainya.
4.   Faktor Psikologis : penyakit syaraf, aliran sesat, dan sebagainya.



[1] Abu Ahmadi, Ilmu Sosial Dasar, Jakarta : Rineka Cipta, 2003, hlm. 95
[2] TIM Penyusun MKD IAIN Sunan Ampel Surabaya. IAD-ISD-IBD. Surabaya: IAIN Sunan Ampel Press. 2012. hlm 81
[3] Hartono dan Arnicum Aziz, MKDU: Ilmu Sosial Dasar, PT. Bumi Aksara, Jakarta, 2008. h. 79
[4] Hartomo dan Arnicun Aziz, MKDU: Ilmu Sosial Dasar, PT Bumi Aksara, Jakarta, 2008. h. 89-90

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Amar dan Nahi

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Memahami redaksi Al-Qur’an dan Al-Hadits bagaikan  menyelam ke dalam samudra yang dalam lagi luas, dibutuhkan kunci, metode dan keilmuan khusus untuk sampai ke sana sehingga kita bisa mengetahui maksud dan tujuan nash al-Qur’an dan Al-Hadits baik dari sudut teks maupun dari aspek makna. Di antara beberapa pembahasan yang berkaitan dengan hal tersebut, ada dua point penting yang keduanya harus diketahui secara mendalam oleh seorang calon Mujtahid. Objek utama yang akan dibahas dalam ushul fiqh adalah al-Qur’an dan sunnah Rasul sedang untuk memahami teks-teks dan sumber yang berbahasa Arab tersebut para ulama  telah menyusun semacam tematik yang akan digunakan dalam praktik penalaran fikih. Bahasa Arab menyampaikan suatu pesan dengan berbagai cara dan dalam berbagai tingkat kejelasan. Untuk itu para ahlinya telah membuat beberapa kategori lafal atau redaksi, di antara yang sangat penting dan akan dikemukakan disini. Antara lain tentang Am a r

Prasangka dan Diskriminasi, Pertentangan dan Integrasi Sosial

A.   Prasangka dan Diskriminasi 1.     Pengertian Prasangka Prasangka atau prejudice berasal dari kata latin prejudicium ,yang pengertiannya sekarang mengalami perkembangan sebagai berikut:  ·   Semula diartikan sebagai suatu preseden, artinya keputusan diambil atas dasar pengalaman yang lalu. ·   Dalam bahasa inggris mengandung arti pengambilan keputusan tanpa penelitian dan pertimbangan yang cermat, tergesa-gesa atau tidak matang.  ·   Untuk mengatakan prasangka dipersyaratkan pelibatan unsur emosional(suka-tidak suka)dalam keputusan yang telah diambil tersebut. Prasangka merupakan dasar pribadi seseorang yang setiap orang memilikinya, sejak masih kecil unsur sikap bermusuhan sudah nampak. Prasangka selalu ada pada mereka yang berfikirnya sederhana dan masyarakat yang tergolong cendekiawan, sarjana, dan pemimpin atau negarawan. Prasangka menunjukkan pada aspek sikap. Prasangka itu suatu sikap, yaitu sikap sosial. Menurut Morgan (1966), sikap adalah kecenderungan untuk

Pendekatan Pendidikan Aqidah

BAB I PENDAHULUAN 1. 1. Latar Belakang Pendidikan aqidah sangat penting bagi kita apalagi kita sebagai pemeluk agama Islam harus mengerti tentang aqidah  Untuk itu kita perlu mempelajarinya sehingga kita mengerti dan bisa menjalankannya dalam kehidupan kita sehari-hari dan setelah kita memahaminya kita bisa memberitahukannya kepada orang lain yang belum tahu. Dan sebelum kita memberitahukan tentang aqidah kepada orang lain akan lebih baik jika kita mengetahui benuk-bentuk pendekatan pendidikan aqidah. Adapun bentuk-bentuk pendekatan pendidikan aqidah tersebut akan kami bahas dalam makalah ini. 1 . 2 .  Rumusan masalah 1. Apa yang dimaksud dengan pendekatan pendidikan aqidah? 2. Apa saja bentuk-bentuk pendekatan pendidikan aqidah? 3. Jelaskan bentuk-bentuk pendekatan pendidikan aqidah? 1 .3 Tujuan 1. Memahami maksud dari pendekatan pendidikan aqidah. 2.Mengetahui bentuk-bentuk pendekatan pendidikan aqidah. 3. Memahami bentuk-bentuk pendekatan pendidikan aqi