Langsung ke konten utama

Al-Quran, As-Sunnah, dan Al-Ijtihad

BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Pada umumnya para ulama fikih sependapat bahwa sumber utama hukum islam adalah Alquran dan hadist. Tidak seluruh ayat Al-quran bersifat rinci dan jelas. Banyak ayat Al-quran yang bersifat Global (mujmal), yang memerlukan penjelasan dan penafsiran yang bersifat kontekstual. Nabi Muhammad SAW. Disamping bertugas untuk menyampaikan wahyu (Al-quran) kepada seluruh ummat manusia, sekaligus untuk memberi penjelasan tentang berbagai ayat yang belum jelas atau masih bersifat mujmal. Penjelasan Nabi Muhammad SAW. Terhadap ayat-ayat Al-quran inilah yang kemudian disebut hadis dan menjadi sumber pemikiran islam.
Untuk mempribumisasikan ayat-ayat Al-quran di setiap waktu(zaman) dan tempat, diperlukan penafsiran yang lebih kontekstual. Oleh karena itu, para ulama dan para pemikir islam lainnya yang hidup pada zaman dan tempat tertentu dituntut untuk mampu menafsirkan atau membumikan ayat-ayat Al-quran dengan berpedoman pada hadits, atsar, penafsir sebelumnya, akal, ilham atau intusi dan realitas. Hasil penafsiran tersebut kemudian disebut ijtihad dan dijadikan sumber pemikiran islam yang ketiga setelah hadits.
1.2. Rumusan Masalah
            1. Jelaskan apaitu  Al-quran !
            2. Jelaskan apa itu As-Sunnah !
            3. Jelaskan apa itu Ijtihad !
1.3. Tujuan
            1. Memahami apa itu Al-quran.
            2. Memahami apa itu As-Sunnah.
            3. Memahami apa itu Ijtihad.


BAB II
ISI
2.1. Al-Quran
Menurut Manna Khalil Al-Qaththan, Al-quran secara etimologis, berasal dari kata “qara’a, yaqra-u, qira-atan, atau qur-anan” yang berarti mengumpulkan (al-jam’u) dan menghimpun (adh-dhommu) huruf serta kata-kata dari satu bagian ke bagian lain secara teratur. Dikatakan Al-quran karena ia berisikan intisari semua kitabullah dan intisari dari ilmu pengetahuan.
Di kalangan para ulama terdapat perbedaan di sekitar pengertian Al-quran, baik dari segi bahasa maupun istilah.
a. Asy-Syafi’i (150-204) mengatakan bahwa Alquran bukan berasal dari akar kata apapun, dan bukan pula ditulis dengan memakai hamzah. Lafazh tersebut sudah lazim digunakan dalam pengertian kalamullah (firman Allah) yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. Sebagaimana kitab injil dan Taurat dipakai khusus untuk kitab-kitab Tuhan yang diberikan kepada Nabi Isa dan Musa.
b. Al-Faraa’ berpendapat bahwa lafazh Al-quran tidak memeakai hamzah (Al-quran) dan diambil dari kata Qarain jamak dari kata qarinah yang berarti indikator (petunjuk), karena dilihat dari segi makna dan kandungannya, ayat-ayat Al-quran itu satu sama lain saling berkaitan.
c. Al-Asy’ari dan para pengikutnya mengatakan bahwa lafazh Al-quran tidak memakai hamzah dan diambil dari kata Qarana, yang berarti menggabungkan sesuatu atas yang lain; karena surah-surah dan ayat-ayat Al-quran, satu dan lainnya saling bergabung dan berkaitan, dan dikumpulkan dalam satu mushaf.
d. Subhi Ash-Shalih menyamakan kata Al-quran dengan al-qiraah sebagaimana disebutkan dalam Q.S. Al-Qiyamah ayat 17-18
Adapun pengertian Al-quran dari segi istilah adalah sebagai berikut ini:

a. Manna Al-Qaththan menyatakan bahwa Al-quran adalah firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW., dan bernilai ibadah bagi yang membacanya.
b. Az-Zarqani menyatakan bahwa Al-quran adalah lafazh yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW., mulai awal surat Al-fatihah, sampai akhir surat An-Nas.
c. Abdul Wahab Khalaf memberikan pengertian Al-quran secara lebih lengkap. Menurutnya, Al-quran adalah firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW., melalui Jibril dengan menggunakan lafazh bahasa arab, isinya dijamin kebenarannya dan sebagai hujjah kerasulannya, undang-undang bagi seluruh manusia, memberi petunjuk kepada mereka dan menjadi sarana untuk melakukan pendekatan diri dan ibadah kepada Allah dengan membacanya. Ia terhimpun dalam mushaf, dimulai dari surat Al-Fatihah dan diakhiri dengan surat An-Nas, disampaikan kepada kita secara mutawatir dari generasi ke generasi, baik secara lisan maupun tulisan serta terjaga dari perubahan dan pergantian.
d. Syekh Muhammad Abduh mendefinisikan Al-quran sebagai  kalam mulia yang diturunkan oleh Allah kepada Nabi yang paling sempurna (Muhammad SAW.), ajarannya mecakup keseluruhan ilmu pengetahuan. Ia merupakan sumber yang mulia yang esensinya tidak dimengerti, kecuali bagi orang yang berjiwa dan berakal cerdas.
Dari beberapa definisi tersebut di atas, kita dapat mengetahui bahwa Al-quran adalah kitab suci yang isinya mengandung firman Allah SWT., turunnya secara bertahap melalui malaikat Jibril, pembawaannya Nabi Muhammad SAW., susunannya dimulai dari surat Al-Fatihah dan diakhiri dengan surat An-Nas, bagi yang membacanya bernilai ibadah, fungsinya antara lain menjadi hujjah atau bukti yang kuat atas kerasulan Nabi Muhammad SAW., keberadaannya hingga kini masih terpelihara dengan baik, dan pemasyarakatannya dilakukan secara berantai dari satu generasi ke generasi  lain dengan tulisan maupun lisan.[1]
Mengapa Allah menurunkan Al-quran? Sesungguhnya Allah tidaklah menurunkan Al-quran hanya sekedar untuk mendapatkan berkah dengan membacanya, juga bukan untuk menghiasi dinding-dinding dengan ayat-ayatnya serta bukan untuk dibacakan kepada orang-orang yang meninggal dengan harapan semoga Allah mereka mengasihi mereka. Melainkan Allah sesungguhnya hanyalah untuk mengatur dengan hidayah-Nya perjalanan kehidupan, mengendalikannya dengan apa yang diturunkan Allah dari petunjuk dan agama yang benar, menunjuki dengan cahaya-Nya umat manusia kepada jalan yang paling lurus, dan mengeluarkan manusia dari kegelapan menuju cahaya. Maka Al-quran tidaklah diturunkan Allah untuk dibacakan atas orang-orang yang mati melainkan untuk mengendalikan orang-orang yang hidup, tidak menurunkannya untuk menghiasi dinding-dinding, melainkan untuk menghiasi manusia.[2]
Al-quran diturunkan dalam waktu 22 tahun 2 bulan 22 hari, yaitu mulai malam ke-17 Ramadhan tahun 41 dari kelahiran Nabi sampai 9 Dzulhijjah Haji Wada’ tahun 63 dari kelahiran Nabi atau tahun 10 H.[3]
Al-quran diturunkan dalam dua fase, yaitu 13 tahun pada fase sebelum beliau hujrah ke madinah (makkiyah), dan 10 tahun pada fase sesudah hijrah ke madinah (madaniyah). Isi Al-quran terdiri atas 114 surat, 6236 ayat, 74437 kalimat dan 325.345 huruf, di mana jumlah ini dapat bervariasi menurut pendapat tertentu namun bukan disebabkan perbedaan isi melainkan karena cara/aturan menghitung yang diterapkan. Surat-surat yang panjang terbagi lagi atas sub bagian lagi yang disebut ruku' yang membahas tema atau topik tertentu. Proporsi masing-masing fase tersebut adalah 19/30 (86 surat) 4.780 ayat untuk ayat-ayat Makkiyah, dan 11/30 (28 surat) 1.456 ayat untuk ayat-ayat Madaniyah. Kendatipun Al-quran diturunkan dengan menggunakan bahasa arab, bukan berarti Alquran diperuntukkan hanya bagi bangsa arab, melainkan diperuntukkan bagi seluruh ummat manusia, tanpa mengenal ras atau suku, keturunan, warna kulit, bangsa, dan bahasa.
Al-quran, selain menamai dirinya dengan nama Al-quran, ia juga mempunyai nama-nama lainnya. Menurut Abu Al-Ma’ali Syaizalah, Al-quran memiliki sekitar 55 nama, dan menurut Abu Hasan Al-Haraly ada 90 nama Al-quran. Akan tetapi, menurut Subhi Ash-Shalih, penyebutan nama-nama Al-quran yang sekian banyak itu dianggap berlebih-lebihan, sehingga mencampuradukkan antara nama Al-quran dan sifat-sifatnya. Di antara nama-nama Al-quran ialah al-furqan; al-kitab; adz-dzikir, at-tanzil. Sifat-sifatnya adalah : an-nur; hudan; syifa; rahmah; mau’idhah; mubarak; mubin; aziz; majid; basyiran wa nadziran.[4]
Keseluruhan isi Al-quran itu pada dasarnya mengandung pesan-pesan berikut :
a. Prinsip-prinsip keimanan kepada Allah, malaikat, kitab, rasul, hari akhir, qadha dan qadhar, dan sebagainya.
b. Prinsip-prinsip syariat, tentang ibadah khas (shalat, zakat, puasa, haji) dan ibadah yang ‘am (perekonomian, pernikahan, hukum, dan sebagainya)
c. Masalah janji dan ancaman, yaitu janji dengan balasan baik bagi mereka yang berbuat baik dan ancaman atau siksa bagi mereka yang berbuat jahat, janji akan memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat dan ancaman akan mendapatkan kesengsaraan dunia akhirat, janji dan ancaman di akhirat berupa surga dan neraka.
d. Jalan menuju kebahagiaan dunia akhirat, berupa ketentuan dan aturan-aturan yang harus dipenuhi untuk mencapai keridhaan Allah.
e. Riwayat dan cerita, yaitu sejarah orang-orang terdahulu, baik bangsa, tokoh, maupun nabi dan rasul Allah.
f. Ilmu pengetahuan mengenai ilmu ketuhanan dan agama, hal-hal yang menyangkut manusia, masyarakat, dan yang berhubungan dengan alam.[5]
2.2. As-Sunnah
As-sunnah merupakan sumber acuan kedua bagi Islam setelah Al-quran. Al-quran merupakan undang-undang dasar yang memuat prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah dasar islam; aqidah, ibadah, akhlak, mu’amalat, dan adab susilanya. As-sunnah merupakan penjelasan teoritis dan praktek terapan bagi Al-quran dalam semuanya itu. Oleh karena itu harus mengikutinya dan mengamalkan apa yang dibawanya dari hukum-hkum dan pengarahan-pengarahan.[6]
Dalam literatur hadits dijumpai beberapa istilah lain yang menunjukkan penyebutan al-hadits, seperti as-sunnah, al-khabar, dan al-atsar. Ketiga istilah tersebut menurut kebanyakan ulama hadits adalah sama dengan terminologi hadits, yaitu segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW., baik dalam bentuk ucapan maupun perbuatan dan ketetapan. Pengertian ini didasarkan pada pandangan mereka terhadap Nabi sebagai suri teladan yang baik bagi manusia.
Apabila sunnah tidak berfungsi sebagai sumber hukum, maka kaum Muslimin akan mendapatkan kesulitan-kesulitan dalam hal: cara shalat, kadar dan ketentuan zakat, cara haji, dan lain sebagainya. Sebab ayat-ayat al-Qur'an dalam hal tersebut hanya berbicara secara global dan umum, dan yang menjelaskan secara terperinci justru sunnah Rasulullah. Selain itu juga akan mendapatkan kesukaran-kesukaran dalam hal menafsirkan ayat-ayat yang musytarak, muhtamal, dan sebagainya yang mau tidak mau memerlukan sunnah untuk menjelaskannnya. Dan apabila penafsiran-penafsiran tersebut hanya didasarkan kepada pertimbangan rasio sudah barang tentu akan melahirkan tafsiran-tafsiran yang sangat subjektif dan tidak dapat dipertanggungjawabkan. 
Dalam hubungan dengan al-Qur'an , maka as-Sunnah berfungsi sebagai penafsir, pensyarah, penjelas atas ayat-ayat tertentu. Apabila disimpulkan tentang fungsi as-Sunnah dalam hubungan dengan al-Qur'an itu adalah sebagai berikut:
a.        Bayan Tafsir, yaitu menerangkan ayat-ayat yang sangat umum mujmal dan musytarak. Seperti hadits: "Shallukama ra'aitumuni ushalli" (shalatlah kamu sebagaimana kamu melihatku shalat) adalah merupakan tafsiran dari ayat al-Qur'an yang umum, yaitu: "Aqimush-shalah" (kerjakan shalat). Demikian pula dengan hadits: "khudzu 'annimanasikakum" (ambilah dariku perbuatan hajiku) adalah tafsiran ayat al-Qur'an "Waatimmulhajja" (dan sempurnakan hajimu).
b.        Bayan Taqrir, yaitu as-Sunnah yang berfungsi untuk memperkokoh dan memperkuat pernyataan al-Qur'an, seperti hadits yang berbunyi: "Shaumul liru'yatihi wafthiruliru'yatihi" (berpuasalah karena melihat bulan dan berbukalah karena melihatnya) adalah memperkokoh ayat al-Qur'an dalam surat al-Baqarah:185.
c.         Bayan Taudhih, yaitu menerangkan maksud dan tujuan sesuatu ayat al-Qur'an, seperti pernyataan Nabi: "Allah tidak mewajibkan zakat melainkan supaya menjadi baik harta-hartamu yang sudah dizakati" adalah taudhih (penjelasan) terhadap ayat al-Qur'an dalam surat at-Taubah:34 yang berbunyi sebagai berikut: "Dan orang-orang yang menyimpan mas dan perak yang kemudian tidak membelanjakannya di jalan Allah maka gembirakanlah mereka dengan azab yang sangat pedih". Pada waktu ayat ini turun banyak para sahabat yang merasa berat untuk melaksanakan perintah ini, maka mereka bertanya kepada Nabi yang kemudian dijawab dengan hadits tersebut.[7]
  • ditinjau dari bentuknya
1.  Sunnah qauliyah, yaitu semua perkataan Rasulullah
2.  Sunnah fi’liyah, yaitu semua perbuatan Rasulullah
3.  Sunnah taqririyah, yaitu penetapan dan pengakuan Rasulullah terhadap pernyataan
       ataupun perbuatan orang lain
  • ditinjau dari segi jumlah orang-orang yang menyampaikannya
1.  Mutawir, yaitu yang diriwayatkan oleh orang banyak
2.  Masyhur, diriwayatkan oleh banyak orang, tetapi tidak sampai (jumlahnya) kepada derajat
     
mutawir
3.  Ahad, yang diriwayatkan oleh satu orang.
  • Ditinjau dari kualitasnya
1.  Shahih, yaitu hadits yang sehat, benar, dan sah
2.  Hasan, yaitu hadits yang baik, memenuhi syarat shahih, tetapi dari segi hafalan
      
pembawaannya yang kurang baik.
3.  Dhaif, yaitu hadits yang lemah
4.  Maudhu’, yaitu hadits yang palsu.
  • Ditinjau dari segi diterima atau tidaknya
1.  Maqbul, yang diterima.
2.  Mardud, yang ditolak.

2.3. Ijtihad
Ijtihad secara bahasa berasal dari kata jahada. Kata ini beserta variasinya menunjukkan pekerjaan yang dilakukan lebih dari biasa, sulit dilaksanakan atau yang tidak disenangi. Kata ini pun berarti kesanggupan (al-wus’), kekuaatan (ath-thaqah), dan berat (al-masyaqqah).
Bagi mayoritas ulama ushul fiqh, ijtihad adalah pengerahan segenap kesanggupan oleh seorang ahli fiqh atau mujtahid untuk memperoleh pengertian tingkat zhan mengenai hukum syara’.[8]
Ijtihad secara harfiah “upaya sepenuhnya”, penggunaan berbagai alasan untuk menemukan peraturan yang sesuai yang masalahnya tidak secara langsung di perintahkan di dalam Al-quran. Untuk menggunaka prinsip, persaman dan perbandingan. [9]
Meski Al Quran sudah diturunkan secara sempurna dan lengkap, tidak berarti semua hal dalam kehidupan manusia diatur secara detil oleh Al Quran maupun A-Sunnah. Selain itu ada perbedaan keadaan pada saat turunnya Al Quran dengan kehidupan modern. Sehingga setiap saat masalah baru akan terus berkembang dan diperlukan aturan-aturan baru dalam melaksanakan Ajaran Islam dalam kehidupan beragama sehari-hari.
Jika terjadi persoalan baru bagi kalangan umat Islam di suatu tempat tertentu atau di suatu masa waktu tertentu maka persoalan tersebut dikaji apakah perkara yang dipersoalkan itu sudah ada dan jelas ketentuannya dalam Al Quran atau As-Sunnah. Sekiranya sudah ada maka persoalan tersebut harus mengikuti ketentuan yang ada sebagaimana disebutkan dalam Al Quran atau As-Sunnah itu. Namun jika persoalan tersebut merupakan perkara yang tidak jelas atau tidak ada ketentuannya dalam Al Quran dan As-Sunnah, pada saat itulah maka umat Islam memerlukan ketetapan Ijtihad. Tapi yang berhak membuat Ijtihad adalah mereka yang mengerti dan paham Al Quran dan As-Sunnah
Macam-macam ijtihad yang dikenal dalam syariat islam, yaitu
1.  Ijma’, yaitu menurut bahasa artinya sepakat, setuju, atau sependapat. Sedangkan menurut istilah adalah kebulatan pendapat ahli ijtihad umat Nabi Muhammad SAW sesudah beliau wafat pada suatu masa, tentang hukum suatu perkara dengan cara musyawarah. Hasil dari Ijma’ adalah fatwa, yaitu keputusan bersama para ulama dan ahli agama yang berwenang untuk diikuti seluruh umat.
2.  Qiyas,yaitu berarti mengukur sesuatu dengan yang lain dan menyamakannya. Dengan kata lain Qiyas dapat diartikan pula sebagai suatu upaya untuk membandingkan suatu perkara dengan perkara lain yang mempunyai pokok masalah atau sebab akibat yang sama. Contohnya adalah pada surat Al isra ayat 23 dikatakan bahwa perkataan ‘ah’, ‘cis’, atau ‘hus’ kepada orang tua tidak diperbolehkan karena dianggap meremehkan atau menghina, apalagi sampai memukul karena sama-sama menyakiti hati orang tua.
3.  Istihsan, yaitu suatu proses perpindahan dari suatu Qiyas kepada Qiyas lainnya yang lebih kuat atau mengganti argumen dengan fakta yang dapat diterima untuk mencegah kemudharatan atau dapat diartikan pula menetapkan hukum suatu perkara yang menurut logika dapat dibenarkan. Contohnya, menurut aturan syarak, kita dilarang mengadakan jual beli yang barangnya belum ada saat terjadi akad. Akan tetapi menurut Istihsan, syarak memberikan rukhsah (kemudahan atau keringanan) bahwa jual beli diperbolehkan dengan system pembayaran di awal, sedangkan barangnya dikirim kemudian.
4.  Mushalat Murshalah, yaitu menurut bahasa berarti kesejahteraan umum. Adapun menurut istilah adalah perkara-perkara yang perlu dilakukan demi kemaslahatan manusia. Contohnya, dalam Al Quran maupun Hadist tidak terdapat dalil yang memerintahkan untuk membukukan ayat-ayat Al Quran. Akan tetapi, hal ini dilakukan oleh umat Islam demi kemaslahatan umat.
5.  Sududz Dzariah, yaitu menurut bahasa berarti menutup jalan, sedangkan menurut istilah adalah tindakan memutuskan suatu yang mubah menjadi makruh atau haram demi kepentingan umat. Contohnya adalah adanya larangan meminum minuman keras walaupun hanya seteguk, padahal minum seteguk tidak memabukan. Larangan seperti ini untuk menjaga agar jangan sampai orang tersebut minum banyak hingga mabuk bahkan menjadi kebiasaan.
6.  Istishab, yaitu melanjutkan berlakunya hukum yang telah ada dan telah ditetapkan di masa lalu hingga ada dalil yang mengubah kedudukan hukum tersebut. Contohnya, seseorang yang ragu-ragu apakah ia sudah berwudhu atau belum. Di saat seperti ini, ia harus berpegang atau yakin kepada keadaan sebelum berwudhu sehingga ia harus berwudhu kembali karena shalat tidak sah bila tidak berwudhu.
7.  Urf, yaitu berupa perbuatan yang dilakukan terus-menerus (adat), baik berupa perkataan maupun perbuatan. Contohnya adalah dalam hal jual beli. Si pembeli menyerahkan uang sebagai pembayaran atas barang yang telah diambilnya tanpa mengadakan ijab kabul karena harga telah dimaklumi bersama antara penjual dan pembeli.[10]
BAB III
PENUTUP
3.1. Simpulan
Menurut Manna Khalil Al-Qaththan, Al-quran secara etimologis, berasal dari kata “qara’a, yaqra-u, qira-atan, atau qur-anan” yang berarti mengumpulkan (al-jam’u) dan menghimpun (adh-dhommu) huruf serta kata-kata dari satu bagian ke bagian lain secara teratur. Dikatakan Al-quran karena ia berisikan intisari semua kitabullah dan intisari dari ilmu pengetahuan.
As-sunnah merupakan sumber acuan kedua bagi Islam setelah Al-quran. Al-quran merupakan undang-undang dasar yang memuat prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah dasar islam; aqidah, ibadah, akhlak, mu’amalat, dan adab susilanya. As-sunnah merupakan penjelasan teoritis dan praktek terapan bagi Al-quran dalam semuanya itu. Oleh karena itu harus mengikutinya dan mengamalkan apa yang dibawanya dari hukum-hkum dan pengarahan-pengarahan.
Ijtihad secara bahasa berasal dari kata jahada. Kata ini beserta variasinya menunjukkan pekerjaan yang dilakukan lebih dari biasa, sulit dilaksanakan atau yang tidak disenangi. Kata ini pun berarti kesanggupan (al-wus’), kekuaatan (ath-thaqah), dan berat (al-masyaqqah). Bagi mayoritas ulama ushul fiqh, ijtihad adalah pengerahan segenap kesanggupan oleh seorang ahli fiqh atau mujtahid untuk memperoleh pengertian tingkat zhan mengenai hukum syara’.
3.2. Saran
Sebelum kita mempelajari agama islam lebih jauh, terlebih dahulu kita harus mempelajari sumber-sumber ajaran agama islam agar agama islam yang kita pelajri sesuia dengan al-qur’an dan tuntunan nabi Muhammad SAW yang terdapat dalam as-sunnah





[1] Dr. Rosihon Anwar, M.Ag. dkk. Pengantar studi islam. Bandung:pustaka setia. 2009. Hlm 162
[2] Al-Qardhawi, Yusuf. Pengantar kajian islam. Jakarta : Pustaka Al Kautsar. 1997. Hlm 368
[3] Rosihon Anwar, ulumul quran, pustaka setia, bandung, 2000, hlm 33
[4] Dr. Rosihon Anwar, M.Ag. dkk. Pengantar studi islam. Bandung:pustaka setia. 2009. Hlm 164
[5] Dr. Rosihon Anwar, M.Ag. dkk. Pengantar studi islam. Bandung:pustaka setia. 2009. Hlm 166
[6] Al-Qardhawi, Yusuf. Pengantar kajian islam. Jakarta : Pustaka Al Kautsar. 1997. Hlm 380
[7] http://ajdamily.blogspot.co.id/2012/07/al-quran-as-sunnah-dan-ijtihad.html
[8] Dr. Rosihon Anwar, M.Ag. dkk. Pengantar studi islam. Bandung:pustaka setia. 2009. Hlm 192
[9] Iqbal, Muhammad. Pustaka Pintar Islam.Jakarta :pustaka ibadah. 2003. Hlm.122
[10] http://aris-rimbawan.blogspot.co.id/2014/07/al-quran-sunnah-dan-ijtihad-sebagai.html



Al-Qardhawi, Yusuf. Pengantar kajian islam. Jakarta : Pustaka Al Kautsar. 1997.
Iqbal, Muhammad. Pustaka Pintar Islam.Jakarta :pustaka ibadah. 2003.
Rosihon Anwar, Ulumul quran, pustaka setia, bandung, 2000.
Rosihon Anwar. dkk. Pengantar studi islam. Bandung:pustaka setia. 2009.
http://aris-rimbawan.blogspot.co.id/2014/07/al-quran-sunnah-dan-ijtihad-sebagai.html
http://ajdamily.blogspot.co.id/2012/07/al-quran-as-sunnah-dan-ijtihad.html

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SEJARAH SINGKAT BAHASA INGGRIS - OLD ENGLISH, MIDDLE ENGLISH, DAN MODERN ENGLISH

Asal Mula Bahasa Inggris             Gday teman-teman! Baiklah, setelah sangat lama rumah saya ini terbengkalai, sekarang akhirnya saya bisa aktif lagi di sini, dengan beberapa pembahasan dan konten baru tentunya. Nah di pembahasan bahasa Inggris ini saya mungkin akan mulai dengan sejarahnya aja deh. Karena kurang lengkap rasanya kita mempelajarinya tanpa tau asal-usulnya. Jadi gini teman-teman, bahasa Inggris zaman dulu dengan sekarang itu sangatlah berbeda, bahasa Inggris yang sekarang itu sudah mengalami banyak evolusi dan revolusi dari masa ke masa. Bahasa Inggris itu juga tidak muncul begitu saja, itu sebenarnya adalah hasil dari akulturasi dari beberapa bahasa. Yaitu melalui bangsa-bangsa yang pernah menginvasi Inggris (dulu belum bernama Inggris). Bangsa-bangsa tersebut adalah : a.        Brighton (Suku yang pertama kali menduduki Britania Raya, makanya dinamakan “Britain”, berasal ...

Makalah Tafsir Tarbawi - Metode Pendidikan Yang Terkandung dalam Surah An-Nahl ayat 125 dan surah Al-A'raf 176-177

BAB I PENDAHULUAN A.       Latar Belakang Pendidikan merupakan suatu hal yang sangat penting dalam kehidupan manusia, karena dengan pendidikan manusia akan mampu mengembangkan potensi yang dimilikinya. Kemampuan yang dimiliki manusia mampu berinteraksi dengan lingkungannya baik lingkungan fisik, maupun lingkungan sosial, menempatkan peranan, posisi, tugas dan tanggung jawab sebagai makhluk sosial. Pendidikan merupakan suatu wadah untuk menciptakan interaksi antara pendidikan dan anak didik yang didalamnya mengandung nilai, kedua-duanya mempunyai tugas, posisi dan tanggung jawab yang berbeda. Pendidikan bertanggung jawab untuk mengantarkan anak didik kearah kedewasaan susila yang cakap dengan memberikan sejumlah ilmu pengetahuan dan dengan bantuan dan bimbingan dari pendidik. Dalam dunia proses belajar mengajar yang disingkat menjadi PBM, sebuah ungkapan popular kita kenal dengan "metode jauh lebih penting dari materi” demikian urgennya metode dalam p...

Filsafat Modern pada Masa Renaissance dan Aufkarung

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tidak banyak orang yang sangat mengetahui, kecuali para sejarawan bahwa Eropa umumnya dan Italia khususnya menjadi modern seperti dewasa ini, sebenarnya telah dimulai sejak zaman Renaissance . Jika zaman Renaissance dimulai sekitar abad ke-14 maka untuk menghasilkan Eropa modern seperti dewasa ini diperlukan kurang lebih lima abad. Modernisasi bagaimana pun memerlukan waktu, bisa panjang bisa pendek tergantung dari berbagai faktor. Dan kini bangsa Indonesia sedang memodernisasi diri dengan harapan dapat menjadi bangsa dan negara yang modern dalam waktu yang relatif singkat dibandingkan dengan bangsa-bangsa lain. Mungkinkah itu? Tergantung pada bangsa Indonesia sendiri, bagaimana menyiasatinya dalam dunia, yang semakin kompleks ini. 1.2. Rumusan Masalah 1. Jelaskan tentang latar belakang filsafat modern ! 2. Jelaskan tentang masa Renaissance ! 3. Jelaskan tentang masa Aufklarung ! 4. Bagaimana karakteristik filsafat masa Renaissa...