BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Pada umumnya para ulama fikih
sependapat bahwa sumber utama hukum islam adalah Alquran dan hadist. Tidak
seluruh ayat Al-quran bersifat rinci dan jelas. Banyak ayat Al-quran yang
bersifat Global (mujmal), yang memerlukan penjelasan dan penafsiran yang
bersifat kontekstual. Nabi Muhammad SAW. Disamping bertugas untuk menyampaikan
wahyu (Al-quran) kepada seluruh ummat manusia, sekaligus untuk memberi
penjelasan tentang berbagai ayat yang belum jelas atau masih bersifat mujmal.
Penjelasan Nabi Muhammad SAW. Terhadap ayat-ayat Al-quran inilah yang kemudian
disebut hadis dan menjadi sumber pemikiran islam.
Untuk mempribumisasikan ayat-ayat
Al-quran di setiap waktu(zaman) dan tempat, diperlukan penafsiran yang lebih
kontekstual. Oleh karena itu, para ulama dan para pemikir islam lainnya yang
hidup pada zaman dan tempat tertentu dituntut untuk mampu menafsirkan atau
membumikan ayat-ayat Al-quran dengan berpedoman pada hadits, atsar, penafsir
sebelumnya, akal, ilham atau intusi dan realitas. Hasil penafsiran tersebut
kemudian disebut ijtihad dan dijadikan sumber pemikiran islam yang ketiga
setelah hadits.
1.2. Rumusan
Masalah
1. Jelaskan apaitu Al-quran !
2. Jelaskan apa itu As-Sunnah !
3. Jelaskan apa itu Ijtihad !
2. Jelaskan apa itu As-Sunnah !
3. Jelaskan apa itu Ijtihad !
1.3. Tujuan
1. Memahami apa itu Al-quran.
2. Memahami apa itu As-Sunnah.
3. Memahami apa itu Ijtihad.
2. Memahami apa itu As-Sunnah.
3. Memahami apa itu Ijtihad.
BAB II
ISI
ISI
2.1. Al-Quran
Menurut Manna
Khalil Al-Qaththan, Al-quran secara etimologis, berasal dari kata “qara’a,
yaqra-u, qira-atan, atau qur-anan” yang berarti mengumpulkan (al-jam’u) dan
menghimpun (adh-dhommu) huruf serta kata-kata dari satu bagian ke bagian lain
secara teratur. Dikatakan Al-quran karena ia berisikan intisari semua
kitabullah dan intisari dari ilmu pengetahuan.
Di kalangan para
ulama terdapat perbedaan di sekitar pengertian Al-quran, baik dari segi bahasa
maupun istilah.
a. Asy-Syafi’i (150-204) mengatakan
bahwa Alquran bukan berasal dari akar kata apapun, dan bukan pula ditulis
dengan memakai hamzah. Lafazh tersebut sudah lazim digunakan dalam pengertian
kalamullah (firman Allah) yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. Sebagaimana
kitab injil dan Taurat dipakai khusus untuk kitab-kitab Tuhan yang diberikan
kepada Nabi Isa dan Musa.
b. Al-Faraa’ berpendapat bahwa
lafazh Al-quran tidak memeakai hamzah (Al-quran) dan diambil dari kata Qarain
jamak dari kata qarinah yang berarti indikator (petunjuk), karena dilihat dari
segi makna dan kandungannya, ayat-ayat Al-quran itu satu sama lain saling
berkaitan.
c. Al-Asy’ari dan para pengikutnya
mengatakan bahwa lafazh Al-quran tidak memakai hamzah dan diambil dari kata
Qarana, yang berarti menggabungkan sesuatu atas yang lain; karena surah-surah
dan ayat-ayat Al-quran, satu dan lainnya saling bergabung dan berkaitan, dan
dikumpulkan dalam satu mushaf.
d. Subhi Ash-Shalih menyamakan kata
Al-quran dengan al-qiraah sebagaimana disebutkan dalam Q.S. Al-Qiyamah ayat
17-18
Adapun
pengertian Al-quran dari segi istilah adalah sebagai berikut ini:
a. Manna Al-Qaththan menyatakan
bahwa Al-quran adalah firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW.,
dan bernilai ibadah bagi yang membacanya.
b. Az-Zarqani menyatakan bahwa Al-quran
adalah lafazh yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW., mulai awal surat
Al-fatihah, sampai akhir surat An-Nas.
c. Abdul Wahab Khalaf memberikan
pengertian Al-quran secara lebih lengkap. Menurutnya, Al-quran adalah firman
Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW., melalui Jibril dengan
menggunakan lafazh bahasa arab, isinya dijamin kebenarannya dan sebagai hujjah
kerasulannya, undang-undang bagi seluruh manusia, memberi petunjuk kepada
mereka dan menjadi sarana untuk melakukan pendekatan diri dan ibadah kepada
Allah dengan membacanya. Ia terhimpun dalam mushaf, dimulai dari surat
Al-Fatihah dan diakhiri dengan surat An-Nas, disampaikan kepada kita secara
mutawatir dari generasi ke generasi, baik secara lisan maupun tulisan serta
terjaga dari perubahan dan pergantian.
d. Syekh Muhammad Abduh
mendefinisikan Al-quran sebagai kalam
mulia yang diturunkan oleh Allah kepada Nabi yang paling sempurna (Muhammad
SAW.), ajarannya mecakup keseluruhan ilmu pengetahuan. Ia merupakan sumber yang
mulia yang esensinya tidak dimengerti, kecuali bagi orang yang berjiwa dan
berakal cerdas.
Dari beberapa definisi tersebut di atas, kita dapat mengetahui bahwa Al-quran adalah kitab suci yang isinya mengandung firman Allah SWT., turunnya secara bertahap melalui malaikat Jibril, pembawaannya Nabi Muhammad SAW., susunannya dimulai dari surat Al-Fatihah dan diakhiri dengan surat An-Nas, bagi yang membacanya bernilai ibadah, fungsinya antara lain menjadi hujjah atau bukti yang kuat atas kerasulan Nabi Muhammad SAW., keberadaannya hingga kini masih terpelihara dengan baik, dan pemasyarakatannya dilakukan secara berantai dari satu generasi ke generasi lain dengan tulisan maupun lisan.[1]
Dari beberapa definisi tersebut di atas, kita dapat mengetahui bahwa Al-quran adalah kitab suci yang isinya mengandung firman Allah SWT., turunnya secara bertahap melalui malaikat Jibril, pembawaannya Nabi Muhammad SAW., susunannya dimulai dari surat Al-Fatihah dan diakhiri dengan surat An-Nas, bagi yang membacanya bernilai ibadah, fungsinya antara lain menjadi hujjah atau bukti yang kuat atas kerasulan Nabi Muhammad SAW., keberadaannya hingga kini masih terpelihara dengan baik, dan pemasyarakatannya dilakukan secara berantai dari satu generasi ke generasi lain dengan tulisan maupun lisan.[1]
Mengapa Allah
menurunkan Al-quran? Sesungguhnya Allah tidaklah menurunkan Al-quran hanya sekedar
untuk mendapatkan berkah dengan membacanya, juga bukan untuk menghiasi
dinding-dinding dengan ayat-ayatnya serta bukan untuk dibacakan kepada
orang-orang yang meninggal dengan harapan semoga Allah mereka mengasihi mereka.
Melainkan Allah sesungguhnya hanyalah untuk mengatur dengan hidayah-Nya
perjalanan kehidupan, mengendalikannya dengan apa yang diturunkan Allah dari
petunjuk dan agama yang benar, menunjuki dengan cahaya-Nya umat manusia kepada
jalan yang paling lurus, dan mengeluarkan manusia dari kegelapan menuju cahaya.
Maka Al-quran tidaklah diturunkan Allah untuk dibacakan atas orang-orang yang
mati melainkan untuk mengendalikan orang-orang yang hidup, tidak menurunkannya
untuk menghiasi dinding-dinding, melainkan untuk menghiasi manusia.[2]
Al-quran
diturunkan dalam waktu 22 tahun 2 bulan 22 hari, yaitu mulai malam ke-17
Ramadhan tahun 41 dari kelahiran Nabi sampai 9 Dzulhijjah Haji Wada’ tahun 63
dari kelahiran Nabi atau tahun 10 H.[3]
Al-quran
diturunkan dalam dua fase, yaitu 13 tahun pada fase sebelum beliau hujrah ke
madinah (makkiyah), dan 10 tahun pada fase sesudah hijrah ke madinah
(madaniyah). Isi Al-quran terdiri atas 114 surat, 6236 ayat, 74437 kalimat dan
325.345 huruf, di mana jumlah ini dapat bervariasi menurut pendapat tertentu namun bukan
disebabkan perbedaan isi melainkan karena cara/aturan menghitung yang
diterapkan. Surat-surat yang panjang terbagi lagi atas sub bagian lagi yang
disebut ruku' yang membahas tema atau topik tertentu.
Proporsi masing-masing fase tersebut adalah 19/30 (86 surat) 4.780 ayat
untuk ayat-ayat Makkiyah, dan 11/30 (28 surat) 1.456 ayat
untuk ayat-ayat Madaniyah. Kendatipun Al-quran diturunkan dengan menggunakan
bahasa arab, bukan berarti Alquran diperuntukkan hanya bagi bangsa arab,
melainkan diperuntukkan bagi seluruh ummat manusia, tanpa mengenal ras atau
suku, keturunan, warna kulit, bangsa, dan bahasa.
Al-quran, selain
menamai dirinya dengan nama Al-quran, ia juga mempunyai nama-nama lainnya. Menurut
Abu Al-Ma’ali Syaizalah, Al-quran memiliki sekitar 55 nama, dan menurut Abu
Hasan Al-Haraly ada 90 nama Al-quran. Akan tetapi, menurut Subhi Ash-Shalih,
penyebutan nama-nama Al-quran yang sekian banyak itu dianggap berlebih-lebihan,
sehingga mencampuradukkan antara nama Al-quran dan sifat-sifatnya. Di antara
nama-nama Al-quran ialah al-furqan; al-kitab; adz-dzikir, at-tanzil.
Sifat-sifatnya adalah : an-nur; hudan; syifa; rahmah; mau’idhah; mubarak;
mubin; aziz; majid; basyiran wa nadziran.[4]
Keseluruhan
isi Al-quran itu pada dasarnya mengandung pesan-pesan berikut :
a. Prinsip-prinsip keimanan kepada Allah, malaikat, kitab, rasul, hari akhir, qadha dan qadhar, dan sebagainya.
a. Prinsip-prinsip keimanan kepada Allah, malaikat, kitab, rasul, hari akhir, qadha dan qadhar, dan sebagainya.
b.
Prinsip-prinsip syariat, tentang ibadah khas (shalat, zakat, puasa, haji) dan
ibadah yang ‘am (perekonomian, pernikahan, hukum, dan sebagainya)
c. Masalah janji
dan ancaman, yaitu janji dengan balasan baik bagi mereka yang berbuat baik dan
ancaman atau siksa bagi mereka yang berbuat jahat, janji akan memperoleh
kebahagiaan dunia dan akhirat dan ancaman akan mendapatkan kesengsaraan dunia
akhirat, janji dan ancaman di akhirat berupa surga dan neraka.
d. Jalan menuju
kebahagiaan dunia akhirat, berupa ketentuan dan aturan-aturan yang harus
dipenuhi untuk mencapai keridhaan Allah.
e. Riwayat dan
cerita, yaitu sejarah orang-orang terdahulu, baik bangsa, tokoh, maupun nabi
dan rasul Allah.
f. Ilmu
pengetahuan mengenai ilmu ketuhanan dan agama, hal-hal yang menyangkut manusia,
masyarakat, dan yang berhubungan dengan alam.[5]
2.2. As-Sunnah
As-sunnah
merupakan sumber acuan kedua bagi Islam setelah Al-quran. Al-quran merupakan
undang-undang dasar yang memuat prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah dasar islam;
aqidah, ibadah, akhlak, mu’amalat, dan adab susilanya. As-sunnah merupakan
penjelasan teoritis dan praktek terapan bagi Al-quran dalam semuanya itu. Oleh
karena itu harus mengikutinya dan mengamalkan apa yang dibawanya dari
hukum-hkum dan pengarahan-pengarahan.[6]
Dalam
literatur hadits dijumpai beberapa istilah lain yang menunjukkan penyebutan al-hadits,
seperti as-sunnah, al-khabar, dan al-atsar. Ketiga istilah tersebut menurut
kebanyakan ulama hadits adalah sama dengan terminologi hadits, yaitu segala
sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW., baik dalam bentuk ucapan
maupun perbuatan dan ketetapan. Pengertian ini didasarkan pada pandangan mereka
terhadap Nabi sebagai suri teladan yang baik bagi manusia.
Apabila sunnah tidak berfungsi sebagai sumber hukum, maka kaum Muslimin
akan mendapatkan kesulitan-kesulitan dalam hal: cara shalat, kadar dan
ketentuan zakat, cara haji, dan lain sebagainya. Sebab ayat-ayat al-Qur'an
dalam hal tersebut hanya berbicara secara global dan umum, dan yang menjelaskan
secara terperinci justru sunnah Rasulullah. Selain itu juga akan mendapatkan
kesukaran-kesukaran dalam hal menafsirkan ayat-ayat yang musytarak, muhtamal,
dan sebagainya yang mau tidak mau memerlukan sunnah untuk menjelaskannnya. Dan
apabila penafsiran-penafsiran tersebut hanya didasarkan kepada pertimbangan
rasio sudah barang tentu akan melahirkan tafsiran-tafsiran yang sangat
subjektif dan tidak dapat dipertanggungjawabkan.
Dalam hubungan dengan al-Qur'an , maka as-Sunnah berfungsi sebagai
penafsir, pensyarah, penjelas atas ayat-ayat tertentu. Apabila disimpulkan
tentang fungsi as-Sunnah dalam hubungan dengan al-Qur'an itu adalah sebagai
berikut:
a.
Bayan Tafsir, yaitu menerangkan ayat-ayat yang
sangat umum mujmal dan musytarak. Seperti hadits: "Shallukama ra'aitumuni
ushalli" (shalatlah kamu sebagaimana kamu melihatku shalat) adalah merupakan
tafsiran dari ayat al-Qur'an yang umum, yaitu: "Aqimush-shalah"
(kerjakan shalat). Demikian pula dengan hadits: "khudzu
'annimanasikakum" (ambilah dariku perbuatan hajiku) adalah tafsiran ayat
al-Qur'an "Waatimmulhajja" (dan sempurnakan hajimu).
b.
Bayan Taqrir, yaitu as-Sunnah yang berfungsi
untuk memperkokoh dan memperkuat pernyataan al-Qur'an, seperti hadits yang
berbunyi: "Shaumul liru'yatihi wafthiruliru'yatihi" (berpuasalah
karena melihat bulan dan berbukalah karena melihatnya) adalah memperkokoh ayat
al-Qur'an dalam surat al-Baqarah:185.
c.
Bayan Taudhih, yaitu menerangkan maksud dan
tujuan sesuatu ayat al-Qur'an, seperti pernyataan Nabi: "Allah tidak
mewajibkan zakat melainkan supaya menjadi baik harta-hartamu yang sudah dizakati"
adalah taudhih (penjelasan) terhadap ayat al-Qur'an dalam surat at-Taubah:34
yang berbunyi sebagai berikut: "Dan orang-orang yang menyimpan mas dan
perak yang kemudian tidak membelanjakannya di jalan Allah maka gembirakanlah
mereka dengan azab yang sangat pedih". Pada waktu ayat ini turun banyak
para sahabat yang merasa berat untuk melaksanakan perintah ini, maka mereka
bertanya kepada Nabi yang kemudian dijawab dengan hadits tersebut.[7]
- ditinjau
dari bentuknya
1. Sunnah qauliyah, yaitu semua perkataan
Rasulullah
2. Sunnah fi’liyah, yaitu semua perbuatan
Rasulullah
3. Sunnah taqririyah, yaitu penetapan dan
pengakuan Rasulullah terhadap pernyataan
ataupun perbuatan orang lain
ataupun perbuatan orang lain
- ditinjau
dari segi jumlah orang-orang yang menyampaikannya
1. Mutawir, yaitu yang diriwayatkan oleh orang
banyak
2. Masyhur, diriwayatkan oleh banyak orang,
tetapi tidak sampai (jumlahnya) kepada derajat
mutawir
mutawir
3. Ahad, yang diriwayatkan oleh satu orang.
- Ditinjau
dari kualitasnya
1. Shahih, yaitu hadits yang sehat, benar, dan
sah
2. Hasan, yaitu hadits yang baik, memenuhi
syarat shahih, tetapi dari segi hafalan
pembawaannya yang kurang baik.
pembawaannya yang kurang baik.
3. Dhaif, yaitu hadits yang lemah
4. Maudhu’, yaitu hadits yang palsu.
- Ditinjau
dari segi diterima atau tidaknya
1. Maqbul, yang diterima.
2. Mardud, yang ditolak.
2.3. Ijtihad
Ijtihad secara bahasa
berasal dari kata jahada. Kata ini beserta variasinya menunjukkan pekerjaan
yang dilakukan lebih dari biasa, sulit dilaksanakan atau yang tidak disenangi. Kata
ini pun berarti kesanggupan (al-wus’), kekuaatan (ath-thaqah), dan berat
(al-masyaqqah).
Bagi mayoritas ulama ushul fiqh, ijtihad adalah pengerahan segenap kesanggupan oleh seorang ahli fiqh atau mujtahid untuk memperoleh pengertian tingkat zhan mengenai hukum syara’.[8]
Bagi mayoritas ulama ushul fiqh, ijtihad adalah pengerahan segenap kesanggupan oleh seorang ahli fiqh atau mujtahid untuk memperoleh pengertian tingkat zhan mengenai hukum syara’.[8]
Ijtihad secara
harfiah “upaya sepenuhnya”, penggunaan berbagai alasan untuk menemukan
peraturan yang sesuai yang masalahnya tidak secara langsung di perintahkan di
dalam Al-quran. Untuk menggunaka prinsip, persaman dan perbandingan. [9]
Meski Al
Quran sudah diturunkan secara sempurna dan lengkap, tidak berarti semua hal
dalam kehidupan manusia diatur secara detil oleh Al Quran maupun A-Sunnah.
Selain itu ada perbedaan keadaan pada saat turunnya Al Quran dengan kehidupan
modern. Sehingga setiap saat masalah baru akan terus berkembang dan diperlukan
aturan-aturan baru dalam melaksanakan Ajaran Islam dalam kehidupan beragama
sehari-hari.
Jika terjadi persoalan baru bagi
kalangan umat Islam di suatu tempat tertentu atau di suatu masa waktu tertentu
maka persoalan tersebut dikaji apakah perkara yang dipersoalkan itu sudah ada
dan jelas ketentuannya dalam Al Quran atau As-Sunnah. Sekiranya sudah ada maka persoalan tersebut harus mengikuti ketentuan yang
ada sebagaimana disebutkan dalam Al Quran atau As-Sunnah itu. Namun jika
persoalan tersebut merupakan perkara yang tidak jelas atau tidak ada ketentuannya
dalam Al Quran dan As-Sunnah, pada saat itulah maka umat Islam memerlukan
ketetapan Ijtihad. Tapi yang berhak membuat Ijtihad adalah mereka yang mengerti
dan paham Al Quran dan As-Sunnah
Macam-macam
ijtihad yang dikenal dalam syariat islam, yaitu
1. Ijma’, yaitu menurut bahasa artinya sepakat,
setuju, atau sependapat. Sedangkan menurut istilah adalah kebulatan pendapat
ahli ijtihad umat Nabi Muhammad SAW sesudah beliau wafat pada suatu masa,
tentang hukum suatu perkara dengan cara musyawarah. Hasil dari Ijma’ adalah
fatwa, yaitu keputusan bersama para ulama dan ahli agama yang berwenang untuk
diikuti seluruh umat.
2. Qiyas,yaitu berarti mengukur sesuatu dengan
yang lain dan menyamakannya. Dengan kata lain Qiyas dapat diartikan pula
sebagai suatu upaya untuk membandingkan suatu perkara dengan perkara lain yang
mempunyai pokok masalah atau sebab akibat yang sama. Contohnya adalah pada
surat Al isra ayat 23 dikatakan bahwa perkataan ‘ah’, ‘cis’, atau ‘hus’ kepada
orang tua tidak diperbolehkan karena dianggap meremehkan atau menghina, apalagi
sampai memukul karena sama-sama menyakiti hati orang tua.
3. Istihsan, yaitu suatu proses perpindahan dari
suatu Qiyas kepada Qiyas lainnya yang lebih kuat atau mengganti argumen dengan
fakta yang dapat diterima untuk mencegah kemudharatan atau dapat diartikan pula
menetapkan hukum suatu perkara yang menurut logika dapat dibenarkan. Contohnya,
menurut aturan syarak, kita dilarang mengadakan jual beli yang barangnya belum
ada saat terjadi akad. Akan tetapi menurut Istihsan, syarak memberikan rukhsah
(kemudahan atau keringanan) bahwa jual beli diperbolehkan dengan system
pembayaran di awal, sedangkan barangnya dikirim kemudian.
4. Mushalat Murshalah, yaitu menurut bahasa
berarti kesejahteraan umum. Adapun menurut istilah adalah perkara-perkara yang
perlu dilakukan demi kemaslahatan manusia. Contohnya, dalam Al Quran maupun
Hadist tidak terdapat dalil yang memerintahkan untuk membukukan ayat-ayat Al
Quran. Akan tetapi, hal ini dilakukan oleh umat Islam demi kemaslahatan umat.
5. Sududz Dzariah, yaitu menurut bahasa berarti
menutup jalan, sedangkan menurut istilah adalah tindakan memutuskan suatu yang
mubah menjadi makruh atau haram demi kepentingan umat. Contohnya adalah adanya
larangan meminum minuman keras walaupun hanya seteguk, padahal minum seteguk
tidak memabukan. Larangan seperti ini untuk menjaga agar jangan sampai orang
tersebut minum banyak hingga mabuk bahkan menjadi kebiasaan.
6. Istishab, yaitu melanjutkan berlakunya
hukum yang telah ada dan telah ditetapkan di masa lalu hingga ada dalil yang
mengubah kedudukan hukum tersebut. Contohnya, seseorang yang ragu-ragu apakah
ia sudah berwudhu atau belum. Di saat seperti ini, ia harus berpegang atau
yakin kepada keadaan sebelum berwudhu sehingga ia harus berwudhu kembali karena
shalat tidak sah bila tidak berwudhu.
7. Urf, yaitu berupa perbuatan yang dilakukan
terus-menerus (adat), baik berupa perkataan maupun perbuatan. Contohnya adalah
dalam hal jual beli. Si pembeli menyerahkan uang sebagai pembayaran atas barang
yang telah diambilnya tanpa mengadakan ijab kabul karena harga telah dimaklumi
bersama antara penjual dan pembeli.[10]
BAB III
PENUTUP
PENUTUP
3.1.
Simpulan
Menurut Manna
Khalil Al-Qaththan, Al-quran secara etimologis, berasal dari kata “qara’a,
yaqra-u, qira-atan, atau qur-anan” yang berarti mengumpulkan (al-jam’u) dan
menghimpun (adh-dhommu) huruf serta kata-kata dari satu bagian ke bagian lain
secara teratur. Dikatakan Al-quran karena ia berisikan intisari semua
kitabullah dan intisari dari ilmu pengetahuan.
As-sunnah
merupakan sumber acuan kedua bagi Islam setelah Al-quran. Al-quran merupakan
undang-undang dasar yang memuat prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah dasar islam;
aqidah, ibadah, akhlak, mu’amalat, dan adab susilanya. As-sunnah merupakan
penjelasan teoritis dan praktek terapan bagi Al-quran dalam semuanya itu. Oleh
karena itu harus mengikutinya dan mengamalkan apa yang dibawanya dari
hukum-hkum dan pengarahan-pengarahan.
Ijtihad secara
bahasa berasal dari kata jahada. Kata ini beserta variasinya menunjukkan
pekerjaan yang dilakukan lebih dari biasa, sulit dilaksanakan atau yang tidak
disenangi. Kata ini pun berarti kesanggupan (al-wus’), kekuaatan (ath-thaqah),
dan berat (al-masyaqqah). Bagi
mayoritas ulama ushul fiqh, ijtihad adalah pengerahan segenap kesanggupan oleh
seorang ahli fiqh atau mujtahid untuk memperoleh pengertian tingkat zhan
mengenai hukum syara’.
3.2. Saran
Sebelum kita mempelajari agama islam
lebih jauh, terlebih dahulu kita harus mempelajari sumber-sumber ajaran agama
islam agar agama islam yang kita pelajri sesuia dengan al-qur’an dan tuntunan
nabi Muhammad SAW yang terdapat dalam as-sunnah
[1] Dr.
Rosihon Anwar, M.Ag. dkk. Pengantar studi islam. Bandung:pustaka setia. 2009.
Hlm 162
[2]
Al-Qardhawi, Yusuf. Pengantar kajian islam. Jakarta : Pustaka Al Kautsar. 1997.
Hlm 368
[3] Rosihon
Anwar, ulumul quran, pustaka setia, bandung, 2000, hlm 33
[4] Dr. Rosihon Anwar, M.Ag. dkk. Pengantar
studi islam. Bandung:pustaka setia. 2009. Hlm 164
[5]
Dr. Rosihon Anwar,
M.Ag. dkk. Pengantar studi islam. Bandung:pustaka setia. 2009. Hlm 166
[6] Al-Qardhawi,
Yusuf. Pengantar kajian islam. Jakarta : Pustaka Al Kautsar. 1997. Hlm 380
[7]
http://ajdamily.blogspot.co.id/2012/07/al-quran-as-sunnah-dan-ijtihad.html
[8] Dr.
Rosihon Anwar, M.Ag. dkk. Pengantar studi islam. Bandung:pustaka setia. 2009.
Hlm 192
[9] Iqbal, Muhammad. Pustaka Pintar
Islam.Jakarta :pustaka ibadah. 2003. Hlm.122
[10] http://aris-rimbawan.blogspot.co.id/2014/07/al-quran-sunnah-dan-ijtihad-sebagai.html
Al-Qardhawi,
Yusuf. Pengantar kajian islam.
Jakarta : Pustaka Al Kautsar. 1997.
Iqbal, Muhammad. Pustaka Pintar Islam.Jakarta :pustaka
ibadah. 2003.
Rosihon Anwar, Ulumul quran, pustaka setia, bandung,
2000.
Rosihon Anwar.
dkk. Pengantar studi islam.
Bandung:pustaka setia. 2009.
http://aris-rimbawan.blogspot.co.id/2014/07/al-quran-sunnah-dan-ijtihad-sebagai.html
http://ajdamily.blogspot.co.id/2012/07/al-quran-as-sunnah-dan-ijtihad.html
Komentar
Posting Komentar