Langsung ke konten utama

Shalat Jumat dan Khutbah Jumat


BAB I

PENDAHULUAN
ISI
PENUTUP
1.1. Latar Belakang
Shalat Jum’at adalah ibadah shalat yang dikerjakan di hari Jum’at, pada waktu shalat dhuhur, dua rakaat secara berjamaah dan dilaksanakan setelah khutbah. Perintah shalat Jum’at disampaikan secara langsung didalam al-Qur’an surat al-Jumuah, sebagaimana dituliskan di atas. Maksud dari ayat “bersegeralah kamu mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli”, adalah jika sudah diseru adzan untuk shalat Jum’at maka tinggalkanlah segala pekerjaan dan kesibukan, untuk melaksanakan shalat Jum’at.
Shalat Jum’at wajib bagi muslim laki-laki, kecuali yang mendapati halangan yang membatalkan kewajiban seperti karena sakit (sakit berat, yang tidak memungkinkan pergi ke masjid) atau bepergian (di/ke tempat yang susah menemukan masjid untuk berjamaah shalat Jum’at).
1.2.  Rumusan masalah
a. Apa hukum shalat jumat dan dasar hukumnya?
b. Apa saja syarat-syarat mendirikan jum’at?
c. Jelaskan tentang khutbah jum’at !
1.3 Tujuan
a. Mengetahui hukum shalat jumat dan dasar hukumnya.
b. Mengetahui apa saja syarat-syarat shalat jumat.
c. Mengetahui tentang khutbah jumat.




BAB II
2.1. Pengertian Shalat Jumat
Shalat Jum’at adalah shalat wajib dua raka’at yang dilaksanakan dengan berjama’ah diwaktu Zuhur dengan didahului oleh dua khutbah. [1]
2.2. Hukum Shalat Jumat dan Dasar Hukumya
Hukum shalat jum’at Fardhu ‘Ain, artinya kewajiban individu mukallaf (muslim, baligh, berakal) kecuali 6 golongan:
a.       Hamba sahaya (budak belian)
b.      Perempuan
c.       Anak kecil (yang belum baligh)
d.      Orang sakit yang tidak dapat menghadiri Jumat
e.       Musafir, yakni orang yang sedang dalam perjalanan jauh
f.       Orang yang udzur jum’at, seperi ada bencana alam atau bahaya.
Pengecualian ini ditetapkan oleh sabda Nabi SAW:
الْجُمُعَةُ حَقٌّ وَاجِبٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ فِي جَمَاعَةٍ إِلَّا أَرْبَعَةً: مَمْلُوكٌ, وَاِمْرَأَةٌ, وَصَبِيٌّ, وَمَرِيضٌ.(صحيح علي شرطي البخا ري ومسلم)
“Jum'at itu hak yang wajib bagi setiap Muslim dengan berjama'ah kecuali empat orang, yaitu: budak, wanita, anak kecil, dan orang yang sakit."
Adapun bagi musafir, dan ada yang udzur, karena perbuatan Rasulullah SAW, apabila mengadakan perjalanan jauh, dan sampai hari jum’at beliau dan para sahabatnya tidak menunaikan shalat jum’at, melainkan hanya shalat Zuhur, demikian pula ketika kejadian badai hari jum’at dikota madinah, Beliau menganjurkan para sahabatnya shalat masing-masimg di rumah mereka.

Para ulama sependapat bahwa hukum shalat jum’at adalah fardhu ‘Ain dan jumlah rakaatnya dua.
a.       Jum’at Wajib ‘Aini bagi yang memenuhi syarat-syarat yang telah ditetapkan. Orang yang meniggalkannya tanpa udzur adalah dosa besar.
b.      Bila sudah dikumandangkan adzan jum’at, wajib segera untuk mendengar khutbah dan menunaikan shalat jum’at.
c.       Sesudah adzan jum’at berkumandang haram hukumnya bagi yang wajib jum’at melakukan kegiatan yang bersifat duniawi seperti jual beli atau pekerjaan lainnya. [2]
Hukum shalat Jum'at adalah wajib dengan dasar Al Qur’an, Sunnah dan Ijma’. Adapun dalil dari Al Qur’an adalah firman Allah:
تَعْلَمُونَ كُنتُمْ إِن لَّكُمْ  خَيْرٌ ذَلِكُمْ الْبَيْعَ وَذَرُوا اللهِ ذِكْرِ إِلَى فَاسْعَوْا الْجُمُعَةِ يَوْمِ مِن لِلصَّلاَةِ نُودِيَ إِذَا ءَامَنُوا الَّذِينَ يَاأَيُّهَا
Artinya :
"Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat pada hari Jum'at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui." [Al Jum'ah:9]

Dalam ayat ini Allah memerintahkan untuk menunaikannya, padahal perintah -dalam istilah ushul fiqh- menunjukkan kewajiban. Demikian juga larangan sibuk berjual beli setelah ada panggilan shalat, menunjukkan kewajibannya; sebab seandainya bukan karena wajib, tentu hal itu tidak dilarang.
Sedangkan dalil dari Sunnah, ialah sabda Rasulullah:
الْغَافِلِينَ مِنْ لَيَكُونُنَّ ثُمَّ قُلُوبِهِمْ عَلَى اللَّهُ لَيَخْتِمَنَّ أَوْ الْجُمُعَاتِ وَدْعِهِمْ عَنْ أَقْوَامٌ لَيَنْتَهِيَنَّ
Artinya :
"Hendaklah satu kaum berhenti dari meninggalkan shalat Jum'at, atau kalau tidak, maka Allah akan mencap hati-hati mereka, kemudian menjadikannya termasuk orang yang lalai.
Hal ini dikuatkan lagi dengan kesepakatan (Ijma') kaum muslimin atas kewajibannya, sebagaimana hal itu dinukil para ulama, diantaranya: Ibnu Al Mundzir , Ibnu Qudamah dan Ibnu Taimiyah.

2.3. Syarat-syarat Mendirikan Shalat Jumat
2.3.1. Syarat Wajib
Orang yang wajib mengerjakan sholat Jumat adalah orang yang memenuhi syarat-syarat sebagai berikut, yaitu:
a.       Islam
b.      Laki-laki
c.       Merdeka (Bukan Hamba Sahya)
d.      Baligh (Cukup Umur)
e.       Aqil (Berakal)
f.       Sehat (Tidak Sakit)
g.      Muqim (Penduduk Tetap) bukan seorang musafir
 الجمعة حقّ واجب علي كلّ مسلم الا أربعة عبد مملوك أوامرأة أو صبيّ أومريض
Shalat jum’at adalah hak yang wajib atas setiap muslim kecuali empat golongan: budak belian, wanita, anak-anak, orang sakit. (HR.Abu Dawud). [3]
 2.3.2. Syarat Sah
Adapun syarat-syarat sahnya jum’at menurut madzhab syafi’i antara lain:
a. Dua raka’at shalat jm’at dan dua khutbahnya harus masih masuk waktu shlat juhur.
b. Dilaksanakan disuatu perkampungan atau perkotaan (maksudnya apabila yang shalat jum’at itu semuanya musafir maka shalat jum’atnya tidak sah).
c. Minimal mendapati satu raka’at (dengan berjama’ah) dari dua raka’at shalat jum’at, maka jika seorang makmum shalat jum’at tidak mendapati satu raka’at shalat jum’at bersama imam, maka ia tetap niat shalat jumat tetapi perakteknya shalat juhur empat raka’at
d. Jumlah makmum yang shalat jum’at minimal 40 orang dari penduduk setempat atau penduduk asli (mustauthin) yang telah wajib jum’at.
e. Shalat jum’atnya tidak berbarengan atau didahului oleh shalat jum’at dimasjid lain yang masih satu perkampungan. Artinya tidak boleh ada dua jum’at atau lebih dalam satu kapung atau satu tempat yang sama.
f.  Harus didahului dua khutbah.[4]
2.4. Khutbah Jumat
2.4.1. Pengertian
“Khotbah”, secara bahasa, adalah ‘perkataan yang disampaikan di atas mimbar’. Adapun kata “khitbah” yang seakar dengan kata “khotbah” (dalam bahasa Arab) berarti ‘melamar wanita untuk dinikahi’. “Khotbah” berasal dari bahasa Arab yang merupakan kata bentukan dari kata “mukhathabah” yang berarti ‘pembicaraan’. Ada pula yang mengatakannya berasal dari kata “al-khatbu” yang berarti ‘perkara besar yang diperbincangkan’, karena orang-orang Arab tidak berkhotbah kecuali pada perkara besar.
Sebagian ulama mendefinisikan “khotbah” sebagai ‘perkataan tersusun yang mengandung nasihat dan informasi’. Akan tetapi, definisi ini terlalu umum. Adapun definisi yang lebih jelas ialah definisi yang diberikan oleh Dr. Ahmad Al-Hufi yaitu, ‘Cabang ilmu atau seni berbicara di hadapan banyak orang dengan tujuan meyakinkan dan memengaruhi mereka’. Dengan demikian, khotbah harus disampaikan secara lisan di hadapan banyak orang dan harus meyakinkan dengan argumen-argumen yang kuat serta memberikan pengaruh kepada pendengar, baik itu berupa motivasi atau peringatan.
Adapun terkait khotbah Jumat, tidak terdapat definisi khusus yang diberikan oleh para ulama karena maksudnya telah jelas.

Dalam kitab Bada’iush Shana’i, pada pemaparan tentang hukum khotbah Jumat, disebutkan, “Khotbah, secara umum, adalah perkataan yang mencakup pujian kepada Allah, salawat kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, doa untuk kaum muslimin serta pelajaran dan peringatan bagi mereka.”
Penjelasan ini adalah penjelasan umum dan bukan definisi yang teliti dan memenuhi syarat-syarat definisi ilmiah.
Adapun definisi yang hampir pas untuk “khotbah Jumat” ialah ‘perkataan yang disampaikan kepada sejumlah orang secara berkesinambungan, berupa nasihat dengan bahasa Arab, sesaat sebelum shalat Jumat setelah masuk waktunya, disertai niat serta diucapkan secara keras, dilakukan dengan berdiri jika mampu, sehingga tercapai tujuannya.
2.4.2. Hukum khutbah jumat
Para ahli fikih berbeda pendapat mengenai hukum khotbah pada shalat Jumat, apakah termasuk syarat shalat sehingga shalat Jumat tidak sah tanpanya, atau sekadar sunah sehingga shalat Jumat tetap sah tanpanya. Berkenaan dengan hal ini, para ahli fikih terbagi ke dalam dua pendapat.
Pendapat pertama menyatakan bahwa khotbah merupakan syarat shalat Jumat. Pendapat ini adalah pendapat Hanafiah dan mayoritas Malikiah. Pendapat ini adalah pendapat yang sahih bagi mereka, demikian juga Syafi’iah dan Hanabilah.
Disebutkan dalam kitab Al-Hawi, “Hal ini merupakan pendapat seluruh ahli fikih selain Hasan Al-Bashri, karena ia menyelisihi pendapat ijma’; ia berkata, ‘Khotbah tidaklah wajib.’”
Disebutkan pula dalam kitab Al-Mughni, “… Kesimpulannya adalah bahwa khotbah merupakan syarat shalat Jumat; shalat Jumat tidak sah tanpanya, dan kami tidak mengetahui pendapat yang bertentangan kecuali pendapat Hasan.”
Pendapat kedua menyebutkan bahwa khotbah merupakan sunah Jumat. Ini merupakan pendapat Hasan Al-Bashri.
Pendapat ini juga diriwayatkan dari Imam Malik, demikian pula pendapat sebagian pengikutnya (Malikiah). Ibnu Hazm juga berpendapat demikian.
Pendapat yang kuat dalam permasalahan ini ialah pendapat pertama, bahwa khotbah merupakan syarat sah shalat Jumat. Bahkan, sebagian ulama menganggap hal ini menyerupai ijma’.
2.4.3. Syarat Sah Khutbah jumat
a.       Khutbah harus dilakukan sebelum shalat.
b.      Khatib harus suci dari hadas, najis, dan menutup aurat.
c.       Khutbah disampaikan diwaktu jum’at dihadapan jama’ah yang menjadikan terlaksananya shalt jum’at, dan harus dengan suara lantang demi tercapainya faedah khutbah.
d.      Antara khutbah dan shalat jum’at tidak terpisah dengan jarak yang kira-kira dapat digunakan untuk makan karena hal itu dianggap sebagai pemisah yang memotong shalat. (Maksudnya antara khutbah dengan shalat jum’at jarak waktunya tidak terpotong terlalu lama sehingga setelah khutbah harus langsung dilaksanakan shalat jum’at).
e.       Khutbah harus disampaikan dengan bahasa Arab kecuali jika memang tidak mampu. Ini adalah pendapat mayoritas ulama yang berlawanan dengan pendapat kalangan ulama madzab Hanafi yang memperbolehkan khutbah dengan bahasa Arab. Namun mereka (ulama madzahb Hanafi) tidak mempunyai dalil atas apa yang mereka katakana maupun dasar yang dapat diikuti.
f.       Dilakukan dengan berdiri bagi yang mampu. Ini adalah pendapat mayoritas ahli Fiqh, merujuk hadis narasi Ibnu Umar bahwasanya Nabi SAW., berkhutbah pada hari jum’at kemudian duduk kemudian berdiri, lalu berkhutbah sebagaimana yang kalian lakukan hari ini.(Mutttafaq ‘alaih). Juga merujuk pada hadis narasi Jabir bin Samura, ia berkata: Nabi SAW., menyampaikan dua khutbah dimana beliau duduk diantara keduanya, membaca al-Qur’an, dan mengingatkan manusia. (HR.Muslim). [5]


2.4.4. Rukun-rukun Khutbah Jumat
A. Rukun Pertama: HamdalahKhutbah jumat itu wajib dimulai dengan hamdalah. Yaitu lafaz yang memuji Allah SWT. Misalnya lafaz alhamdulillah, atau innalhamda lillah, atau ahmadullah. Pendeknya, minimal ada kata alhamd dan lafaz Allah, baik di khutbah pertama atau khutbah kedua.
B. Rukun Kedua: Shalawat kepada Nabi SAWShalawat kepada nabi Muhammad SAW harus dilafadzkan dengan jelas, paling tidak ada kata shalawat. Misalnya ushalli ‘ala Muhammad, atau as-shalatu ‘ala Muhammad, atau ana mushallai alaMuhammad.Namun nama Muhammad SAW boleh saja diucapkan dengan lafadz Ahmad, karena Ahmad adalah nama beliau juga sebagaimana tertera dalam Al-Quran.
C. Rukun Ketiga: Washiyat untuk Taqwa Yang dimaksud dengan washiyat ini adalah perintah atau ajakan atau anjuran untuk bertakwa atau takut kepada Allah SWT. Dan menurut Az-Zayadi, washiyat ini adalah perintah untuk mengerjakan perintah Allah dan menjauhi larangan-larangan-Nya. Sedangkan menurut Ibnu Hajar, cuukup dengan ajakan untuk mengerjakan perintah Allah. Sedangkan menurut Ar-Ramli, washiyat itu harus berbentuk seruan kepada ketaatan kepada Allah.Lafadznya sendiri bisa lebih bebas. Misalnya dalam bentuk kalimat: takutlah kalian kepada Allah. Atau kalimat: marilah kita bertaqwa dan menjadi hamba yang taat. Ketiga rukun di atas harus terdapat dalam kedua khutbah Jumat itu.
D. Rukun Keempat: Membaca ayat Al-Quran pada salah satunyaMinimal satu kalimat dari ayat Al-Quran yang mengandung makna lengkap. Bukan sekedar potongan yang belum lengkap pengertiannya. Maka tidak dikatakan sebagai pembacaan Al-Qur’an bila sekedar mengucapkan lafaz: tsumma nazhar. Tentang tema ayatnya bebas saja, tidak ada ketentuan harus ayat tentang perintah atau larangan atau hukum. Boleh juga ayat Quran tentang kisah umat terdahulu dan lainnya.
E. Rukun Kelima: Doa untuk umat Islam di khutbah kedua. Pada bagian akhir, khatib harus mengucapkan lafaz yang doa yang intinya meminta kepada Allah kebaikan untuk umat Islam. Misalnya kalimat: Allahummaghfir lil muslimin wal muslimat . Atau kalimat Allahumma ajirna minannar.



BAB III

3.1. Simpulan
Shalat Jum’at adalah shalat wajib dua raka’at yang dilaksanakan dengan berjama’ah diwaktu Zuhur dengan didahului oleh dua khutbah. Hukum shalat jum’at Fardhu ‘Ain, artinya kewajiban individu mukallaf (muslim, baligh, berakal) kecuali 6 golongan.
“Khotbah”, secara bahasa, adalah ‘perkataan yang disampaikan di atas mimbar’. Adapun kata “khitbah” yang seakar dengan kata “khotbah” (dalam bahasa Arab) berarti ‘melamar wanita untuk dinikahi’. “Khotbah” berasal dari bahasa Arab yang merupakan kata bentukan dari kata “mukhathabah” yang berarti ‘pembicaraan’. Ada pula yang mengatakannya berasal dari kata “al-khatbu” yang berarti ‘perkara besar yang diperbincangkan’, karena orang-orang Arab tidak berkhotbah kecuali pada perkara besar.

3.2. Saran


Semoga dengan adanya makalah ini kita bisa lebih memahami tentang sholat jumat, baik Pengertiannya, hukum-hukumnya, syarat-syaratnya, serta tentang khutbah jumat. Sehingga kita dapat mengetahui lebih dalam lagi tentang Shalat Jumat.


______________________________________________________________
Umay M. dja’far Shiddieq, Syari’ah Ibadah, Jakarta Pusat: alGhuraba, Hal. 75 [1]
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, Jakarta: Pena, Hal. 459 [2]
Abdul Aziz Muhammad Azzam dan Abdul Wahhab Sayyed Hawwas, Fiqih Ibadah, Jakarta: Amzah, Hal. 309 [3]
Abbas Arfan, Fiqih Ibadah Peraktis, malang: Uin-Maliki Press, Hal. 113 [4]
Ibid, Fiqih Ibadah, Hal. 311 [5]

Abbas Arfan, 2004.Fiqih IbadahPeraktis, malang: Uin-Maliki Press
Sabiq, Sayyid. 2006. Fiqih Sunnah, Jakarta: Pena.
Aziz, Muhammad Azzam Abdul dkk. 2009.  FiqihIbadah, Jakarta: Amzah.
Umay M. dja’far Shiddieq,2001. Syari’ahIbadah, Jakarta Pusat: alGhuraba.
Nasution, M. Yunan. 1991. Khutbah Jum’at II. Jakarta: Bulan Bintang
https://spupe07.wordpress.com/2010/01/05/khutbah-jumat/ 


Komentar

  1. Sangat membantu untuk saya, Semoga kumpulan materi khutbah nya menjadi amal sholeh buat penulis dan semua yang membantu menyebarkan.

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Amar dan Nahi

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Memahami redaksi Al-Qur’an dan Al-Hadits bagaikan  menyelam ke dalam samudra yang dalam lagi luas, dibutuhkan kunci, metode dan keilmuan khusus untuk sampai ke sana sehingga kita bisa mengetahui maksud dan tujuan nash al-Qur’an dan Al-Hadits baik dari sudut teks maupun dari aspek makna. Di antara beberapa pembahasan yang berkaitan dengan hal tersebut, ada dua point penting yang keduanya harus diketahui secara mendalam oleh seorang calon Mujtahid. Objek utama yang akan dibahas dalam ushul fiqh adalah al-Qur’an dan sunnah Rasul sedang untuk memahami teks-teks dan sumber yang berbahasa Arab tersebut para ulama  telah menyusun semacam tematik yang akan digunakan dalam praktik penalaran fikih. Bahasa Arab menyampaikan suatu pesan dengan berbagai cara dan dalam berbagai tingkat kejelasan. Untuk itu para ahlinya telah membuat beberapa kategori lafal atau redaksi, di antara yang sangat penting dan akan dikemukakan disini. Antara lain tentang Am a r

Pendekatan Pendidikan Aqidah

BAB I PENDAHULUAN 1. 1. Latar Belakang Pendidikan aqidah sangat penting bagi kita apalagi kita sebagai pemeluk agama Islam harus mengerti tentang aqidah  Untuk itu kita perlu mempelajarinya sehingga kita mengerti dan bisa menjalankannya dalam kehidupan kita sehari-hari dan setelah kita memahaminya kita bisa memberitahukannya kepada orang lain yang belum tahu. Dan sebelum kita memberitahukan tentang aqidah kepada orang lain akan lebih baik jika kita mengetahui benuk-bentuk pendekatan pendidikan aqidah. Adapun bentuk-bentuk pendekatan pendidikan aqidah tersebut akan kami bahas dalam makalah ini. 1 . 2 .  Rumusan masalah 1. Apa yang dimaksud dengan pendekatan pendidikan aqidah? 2. Apa saja bentuk-bentuk pendekatan pendidikan aqidah? 3. Jelaskan bentuk-bentuk pendekatan pendidikan aqidah? 1 .3 Tujuan 1. Memahami maksud dari pendekatan pendidikan aqidah. 2.Mengetahui bentuk-bentuk pendekatan pendidikan aqidah. 3. Memahami bentuk-bentuk pendekatan pendidikan aqi

Prasangka dan Diskriminasi, Pertentangan dan Integrasi Sosial

A.   Prasangka dan Diskriminasi 1.     Pengertian Prasangka Prasangka atau prejudice berasal dari kata latin prejudicium ,yang pengertiannya sekarang mengalami perkembangan sebagai berikut:  ·   Semula diartikan sebagai suatu preseden, artinya keputusan diambil atas dasar pengalaman yang lalu. ·   Dalam bahasa inggris mengandung arti pengambilan keputusan tanpa penelitian dan pertimbangan yang cermat, tergesa-gesa atau tidak matang.  ·   Untuk mengatakan prasangka dipersyaratkan pelibatan unsur emosional(suka-tidak suka)dalam keputusan yang telah diambil tersebut. Prasangka merupakan dasar pribadi seseorang yang setiap orang memilikinya, sejak masih kecil unsur sikap bermusuhan sudah nampak. Prasangka selalu ada pada mereka yang berfikirnya sederhana dan masyarakat yang tergolong cendekiawan, sarjana, dan pemimpin atau negarawan. Prasangka menunjukkan pada aspek sikap. Prasangka itu suatu sikap, yaitu sikap sosial. Menurut Morgan (1966), sikap adalah kecenderungan untuk