BAB
I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Dari
awal hingga akhir, al-Qur'an merupakan kesatuan utuh. Tak ada pertentangan satu
dengan lainnya. Masing-masing saling menjelaskan al-Qur'an yufassir-u ba'dhuhu
ba'dha. Dari segi kejelasan, ada empat tingkat pengertian. Pertama, cukup jelas
bagi setiap orang. Kedua, cukup jelas bagi yang bisa berbahasa Arab. Ketiga,
cukup jelas bagi ulama/para ahli, dan keempat, hanya Allah yang mengetahui
maksudnya.
Dalam
al-Qur'an dijelaskan tentang adanya induk pengertian hunna umm al-kitabyang
sudah mempunyai kekuatan hukum tetap. Ketentuan-ketentuan induk itulah yang
senantiasa harus menjadi landasan pengertian dan pedoman pengembangan berbagai
pengertian, sejalan dengan sistematisasi interpretasi dalam ilmu hukum
-hubungan antara ketentuan undang-undang yang hendak ditafsirkan dengan
ketentuan-ketentuan lainnya dari undang-undang tersebut maupun undang-undang
lainnya yang sejenis, yang harus benar-benar diperhatikan supaya tidak ada
kontradiksi antara satu ayat dengan ayat lainnya.
Dalam ilmu tafsir ada yang disebut asbab al-nuzul, yang mempunyai unsur historis cukup nyata. Dalam kaitan ini para mufassir memberi tempat yang cukup tinggi terhadap pengertian ayat al-Qur'an. Dalam konteks sejarah yang menyangkut interpretasi itulah, kita membicarakan masalah nasikh-mansukh.
Dalam ilmu tafsir ada yang disebut asbab al-nuzul, yang mempunyai unsur historis cukup nyata. Dalam kaitan ini para mufassir memberi tempat yang cukup tinggi terhadap pengertian ayat al-Qur'an. Dalam konteks sejarah yang menyangkut interpretasi itulah, kita membicarakan masalah nasikh-mansukh.
B.
Rumusan
Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan Nasikh dan Mansukh?
2. Bagaimana Kemungkinan Adanya Nasikh?
3. Ada Berapa Syarat-syarat Nasikh dan Mansukh?
4. Apa saja Pembagian Nasikh dan Mansukh?
5. Apa saja Ruang Lingkup Nasikh dan Mansukh?
6. Apa Hikmah Nasikh dan Mansukh?
C. Tujuan
1. Mengetahui Apa itu Nasikh dan Mansukh
2. Mengetahui Bagaimana Kemungkinan Adanya Nasikh
3. Mengetahui Syarat-syarat Nasikh dan Mansukh
4. Mengetahui Pembagian Nasikh dan Mansukh
5. Mengetahui Ruang Lingkup Nasikh dan Mansukh
6. Mengetahui Hikmah Nasikh dan Mansukh
BAB II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
2.1.
Pengertian Nasikh dan Mansukh
Dari segi bahasa
nasikh bisa diartikan sebagai menghilangkan, pembatalan, menghapus, mengganti,
menukar. Adapun menurut istilah dapat dikemukakan beberapa definisi sebagai
berikut:
- Menurut Manna’ Khalil al-Qaththan adalah:
رفع
الحكم الشرعي بخطاب شرعي
“Mengangkat
atau menghapus hukum syara’ dengan khithab (dalil) syara’ yang lain”
- Menurut Muhammad ‘Abd. Adzim al-Zarqaniy:
- Menurut Muhammad ‘Abd. Adzim al-Zarqaniy:
رفع
الحكم الشرعي بدليل شرعي متأخر
“Mengangkat
/ menghapus hukum syara’ dengan dalil syara’ yang lain yang datang kemudian”.[1]
Nasikh menurut istilah ialah membatalkan
suatu hokum dengan dalil yang akan datang kemudian. Dan yang dibatalkan disebut
mansukh, sedangkan yang membatkan disebut
nasikh. Selanjutkan digunakan ketiga akal tersebut. Baik dengan akal maupun riwayat,
nasakh dapat terjadi.Pendapat ini menurut ahli ushul, kecuali nasakh terhadap nash-nash
(ayat) Quran. Menurut akal : Kepentingan suatu umat berbeda-beda menurut waktu
dan keadaannya. Suatu perbuatan mungkin berbahaya
pada sewaktu-waktu ,tetapi dapat bermanfaat di waktu lain. Karena perbuatan
tersebut mula-mula di larang, kemudian di perintahkan. Menurut riwayat
Rasulullah pernah shalat menghadap Baitul Maqdis (palestina) selama 18 bulan.
Kemudian qiblat tersebut di hapuskan dan dipindahkan ke Makkah (ka’bah).[2]
Singkatnya, yang dibatalkan disebut mansukh,
sedang yang membatalkan disebut Nasikh.
Tidak ada nasikh bagi hukum syar’i
dalam Al-quran dan Sunnah setelah wafatnya Rasulullah SAW. adanya hanya di masa
Nabi masih hidup, yang lama-kelamaan secara berangsur-angsur lalu dijalankan
dengan tasyri’. Dan dalam lalu lintas perbaikan-perbaikan masyarakat yang
diadakan itu dilakukan nasikh beberapa hukum yang dijalankan secara kulli dan
juz’i.
[3]
2.2.
Kemungkinan Adanya Nasikh
Baik menurut
akal maupun menurut riwayat, nasikh dapat terjadi. Pendapat ini sudah
disepakati ulama usul, kecuali nasikh terhadap nash-nash (ayat) Al-Quran.
Menurut akal:
Kepentingan
sesuatu umat dapat berbeda-beda menurut waktu dan keadaannya. Sesuatu perbuatan
mungkin berbahaya atau merugikan pada sesuatu waktu, tetapi dapat bermanfaat
diwaktu lain, karena itu perbuatan tersebut mula-mula dilarang, kemudian
diperintahkan.
Menurut riwayat:
Rasulullah
pernah shalat menghadap Baitul Maqdis (Palestina) selama 18 bulan. Kemudian
qiblat tersebut dihapuskan dan dipindahkan ke ka’bah (mekkah).[4]
2.3.
Syarat-syarat Nasikh dan Mansukh
Untuk diterima adanya nasikh
diperlukan syarat-syarat sebagai berikut:
a) Yang
dimansukhkan adalah hukum syara’.
b) Dalil
yang menghapus hukum syara’ tersebut harus berupa dalil syara’ seperti
Al-Qur’an, hadist, Ijma’ dan Qiyas. Hal ini sesuai dengan firman Allah pada
surat an-Nisa’ ayat 59.
c) Adanya
tenggang waktu antara nasakh dan mansukh dalam satu ayat atau dalil pertama dan
kedua datang berurut (gandeng ayat). Kalau ditemukan ada kalimat antara nasakh
dan mansukh dalam satu kalimat yang harus dilihat adalah apakah kalimat
tersebut termasuk kalimat berita berarti kalimat tersebut bukanlah nasakh
melainkan takhsis.
d) Nasikh
harus lebih kuat daripada mansukhnya atau sekurang-kurangnya sama, jangan
kurang dari itu karena yang lemah tidak akan dapat menghapuskan yang kuat.
Karena itu hadits mutawattir dapat menasikh (menghapus) hadis ahad, tetapi
sebaliknya hadits ahad tidak dapat menasikh hadits mutawattir.
2.4.
Pembagian Nasikh
1. Menurut jenis Nasikh dan mansukh
:
a) Nasikh
Kitab dengan Kitab.
Misalnya firman Allah:
"Dan orang-orang yang
akan meninggal dunia di antara kamu dan meninggalkan isteri, hendaklah
berwasiat untuk isteri-isterinya, (yaitu) diberi nafkah hingga setahun lamanya
dan tidak disuruh pindah (dari rumahnya). akan tetapi jika mereka pindah
(sendiri), Maka tidak ada dosa bagimu (wali atau waris dari yang meninggal)
membiarkan mereka berbuat yang ma'ruf terhadap diri mereka. dan Allah Maha
Perkasa lagi Maha Bijaksana".( Q.S. al- Baqarah ayat 240)
Dinasikhkan oleh ayat:
“Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan
isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber'iddah)
empat bulan sepuluh hari. Kemudian apabila Telah habis 'iddahnya, Maka tiada
dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri merekamenurut
yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat".( Q.S. al-
Baqarah ayat 234
b)
Nasikh Kitab dengan Sunnah.
misalnya firman Allah:
“Diwajibkan atas kamu kedatangan (tanda) maut jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu bapak dan karib kerabatnya” (Q.S. Al-Baqarah:180)
“Diwajibkan atas kamu kedatangan (tanda) maut jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu bapak dan karib kerabatnya” (Q.S. Al-Baqarah:180)
Dinasikh oleh hadits Nabi SAW:
“Tidak dianggap sah berwasiat untuk ahli waris” (H.R. Turmudzi dan Ibnu Majah)
“Tidak dianggap sah berwasiat untuk ahli waris” (H.R. Turmudzi dan Ibnu Majah)
c)
Nasikh Sunnah dengan Sunnah.
misalnya hadits Nabi SAW. Yang mengatakan :
“Dahulu aku telah melarang ziarah kubur, maka (sekarang) bolehlah engkau menziarahinya”(H.R. Muslim)
“Dahulu aku telah melarang ziarah kubur, maka (sekarang) bolehlah engkau menziarahinya”(H.R. Muslim)
d)
Nasikh Sunnah dengan Kitab.
misalnya hadits:
“Bahwasanya nabi SAW. Menghadap
baitul maqdis dalam shalat selama 6 bulan” (Muttafaqun ‘alaih)
Dinasikh oleh ayat :
“Hadapkanlah mukamu ke arah masjidil
haram” (Q.S. Al-Baqarah:144).[5]
2. Berdasarkan
kejelasan dan cakupanya:
a)
Naskh Sharih,
yaitu ayat yang secara jelas menghapus hukum yang terdapat pada ayat yang
terdahulu. Misal ayat tentang perng (qital) pada ayat 65 surat Al-Anfal(8) yang
mengharuskan satu orang muslim melawan sepuluh orang kafir:
يا يها النبي حرض المؤمنين على القتال ان يكن منكم عشرون صا برون يخلبوا مائتين وان يكن منكم مائة يخلبوا الفا من الذين كفروا با نهم قوم لايفقهو
Artinya :
“Hai Nabi, korbankanlah semangat orang mukmin untuk berperang jika ada dua puluh orang yang sabar diantara kamu, pasti mereka akan dapat mengalahkan dua ratus orang musuh. Dan jika ada seratus orang (yang sabar) diantara kamu, mereka dapat mengalahkan seribu kafir, sebab oang-orang kafir adalah kaum-kaum yang tidak mengerti. “ ( QS.Al-Anfal : 65 )
Dan menurut jumhur ulama’ ayat ini
di-naskh oleh ayat yang mengharuskan satu orang mukmin melawan dua orang kafir
pada ayat 66 dalam surat yang sama:
الئن خفف الله عنكم وعلم ان فيكم ضعفا فا ن يكن منكم ما ئة صا برة يغلبوا مائتين وان يكن منكم الف يغلبواالفين باذ ن الله والله مع الصبرين
Artinya :
“ Sekarang Allah telah
meringankankamu dan mengetahui pula bahwa kamu memiliki kelemahan. Maka jika
ada diantara kamu seratus orang yang sabar, niscaya mereka dapat mengalahkan
dua ratus orang kafir, dan jika diantar kamu terdapat seribu orang (yang
sabar), mereka akan dapat mengalahkan dua ribu orang kafir.” ( QS.Al-Anfal
: 66 )
b)
Naskh dhimmy,
yaitu jika terdapat dua naskh yang saling bertentangan dan tidak dikompromikan,
dan keduanya turun untuk sebuah masalah yang sama, serta keduanya diketahui
waktu turunya, ayat yang datang kemudian menghapus ayat yang terdahulu. Misalnya,
ketetapan Allah yang mewajibkan berwasiat bagi orang-orang yang akan mati yang
terdapat dalam surat Al-Baqarah (2):
كتب عليكم اذاحضراحدكم الموت ان ترك خيراءلوصية للوالدين والااقربين بالمعروف حقاعلى المتقين .
Artinya :
“Diwajibkan atas kamu,
apabila seseorang diantara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia
meninggalkan harta yang banyak, untuk berwasiat bagi ibu bapak serta karib
kerabatnya secara ma’ruf.“
Ayat ini di-naskh oleh suatu hadist
yang mempunyai arti tidak ada wasiat bagi ahli waris.
c)
Naskh kully,
yaitu menghapus hukum yang sebelumnya secara keseluruhan. Contohnya, ‘iddah
empat bulan sepuluh hari pada surat Al-Baqarah (2) 234 di-naskh oleh ketentuan
‘iddah satu tahun pada ayat 240 dalam surat yang sama.
d)
Naskh juz’i,
yaitu menghapus hukum umum yang berlaku pada semua individu dengan hukum yang
hanya berlaku bagi sebagian individu,atau menghapus hukum yang bersifat
muthlaq dengan ukum yang muqayyad. Contohnya, hukum dera 80 kali bagi
orang yang menuduh seorang wanita tanpa adanya saksi pada surat An-Nur (24)
ayat 4, dihapus oleh ketentuan li’an, bersumpah empat kali dengan nama Allah,
jika sipenuduh suami yang tertuduh, pada ayat 6 dalam surat yang sama.
3. Dilihat dari segi bacaan dan hukumnya:
3. Dilihat dari segi bacaan dan hukumnya:
a)
Penghapusan
terhadap hukum (hukm) dan bacaan (tilawah) secara bersamaan. Ayat-ayat yang
terbilang kategori ini tidak dibenarkan dibaca dan diamalkan. Misal sebuah
riwayat Al Bukhori Muslim yaitu hadis Aisyah R.A.
كان فيما أنزل من القران عشر رضعات معلومات فتو فيرسول الله صلى الله عليه وسلم وهن فيما يقرأ من القران
Artinya :
“ Dahulu termasuk yang
diturunkan (ayat Al-qur’an) adalah sepuluh radaha’at (isapan menyusu) yang
diketahui, kemudian di naskh oleh lima (isapan menyusu) yang diketahui. Setelah
rasulullah wafat, hukum yang terakhir tetap dibaca sebagai bagian Al-qur’an.
“
b)
Penghapusan
terhadap hukumnya saja sedangkan bacaanya tetap ada. Misalnya ayat tentang
mendahulukan sedekah ( QS.Mujadilah : 12 )
يايهاالذين امنوا اذا ناجيتم الرسول فقد موابين يدي نجوكم صدقة ذ لك خيرلكمواطهر فان لم تجدوا فان الله غفوررحيم
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu mengadakan pembicaraan khusus dengan Rasul, hendaknya kamu mengeluarkan sedekah (kepada orang miskin) sebelum pembicaraan itu. Yang demikian itu adalah lebih baik bagimu dan lebih bersih, jika kamu tiada memperoleh (yang akan disedekahkan) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun Lagi Maha Penyayang“ ( QS.Mujadilah : 12 ).
Ayat ini di Naskh oleh surat yang
sama ayat 13:
ءاشفقتم ان تقدموا بين يدي نجو كم صدقت فاذلمتفعلواوتاب الله عليكم فاقيمواالصلوة واتواالزكوة واطيعواالله ورسوله والله خبيربما تعملون
Artinya:
“Apakah kamu takut akan (menjadi miskin) karena kamu memberikan sedekah sebelum pembicaraan dengan Rasul?maka jika kamu tiada memperbuatnya dan Allah telah memberi tobat kepadamu, maka dirikanlah salat, tunaikanlah zakat, dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya, dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.“ (QS.Al-Mujadilah:13)
c)
Penghapusan
terhadap bacaan saja, sedangkan hukumnya tetap berlaku. Contoh kategori ini
biasanya diambil dari yat rajam. Mula-mula ayat rajam ini terbilang ayat
Al-Qur’an. Ayat yang dinyatakan mansukh bacaanya, sementara hukumnya tetap
berlaku itu adalah :
أذازناالشيخ والشيخة فارجموهما
Artinya :
“ Jika seorang pria tua dan wanita tua berzina, maka rajamlah keduanya“.
Cerita tentang ayat orang tua berzina diataas diturunkan berdsarkan riwayat Ubay bin Ka’ab bin Abu Umamah bin Sahl menurunkan bunyi yang bernada mengenai ayat yang dianggap bacaanya mansukh itu. Umamah mengatakan bahwa Rasulullah telah mengajarkan kami membaca ayat rajam :
الشيخ والشيخة فارجموهما البتة بماقضيا من الذة
Artinya :
“Seorang pria tua dan seorang wanita tua, rajamlah mereka lantaran apa yang mereka perbuat dalam bentuk kelezatan (zina)”
2.5. Ruang Lingkup Nasikh dan Mansukh
Imam Suyutti mengatakan ; Bahwa
naskh hanya terjadi pada perintah(amr), dan larangan (nahyi), baik yang
diungkap dengan redaksi sharikh (tegas) atau yang tidak tegas,Atau yang
diungkap dengan kalimat berita (khabar), yang bermakna amr (perintah), atau
yang bermakna nahy (larangan).
Dan persoalan tersebut di atas, tidak
berhubungan dengan persoalan, akidah, baik mengenai Dzat Allah dan
sifat-sifatNya, Kitab-kitabNya, Rasul-Nya, hari kiamat, janji dan ancaman, dan
tidak bertentangan etika dan akhlaq, serta ibadah dan mua’malah, karena
syari’at
شَرَعَ لَكُم مِّنَ الدِّينِ مَاوَصَّى بِهِ نُوحًا وَالَّذِي أَوْحَيْنَآ إِلَيْكَ وَمَاوَصَّيْنَا بِهِ إِبْرَاهِيمَوَمُوسَى وَعِيسَى أَنْ أَقِيمُوا الدِّينَ وَلاَتَتَفَرَّقُوا فِيهِ
Artinya:
“Dia telah mensyari'atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya”. (Q.S.As-Syuraa: 13)
2.6.
Hikmah Adanya Naskih Mansukh
Adanya nasikh-mansukh tidak dapat dipisahkan dari
sifat turunnya al-Qur'an itu sendiri dan tujuan yang ingin dicapainya. Turunnya
Kitab Suci al-Qur'an tidak terjadi sekaligus, tapi berangsur-angsur dalam waktu
20 tahun lebih. Hal ini memang dipertanyakan orang ketika itu, lalu Qur'an
sendiri menjawab, pentahapan itu untuk pemantapan, khususnya di bidang hukum.
Dalam hal ini Syekh al-Qasimi berkata, sesungguhnya al-Khalik Yang Maha Suci
lagi Maha Tinggi mendidik bangsa Arab selama 23 tahun dalam proses tadarruj
(bertahap) sehingga mencapai kesempurnaannya dengan perantaraan berbagai sarana
sosial. Hukum-hukum itu mulanya bersifat kedaerahan, kemudian secara bertahap
diganti Allah dengan yang lain, sehingga bersifat universal.
Demikianlah Sunnah al-Khaliq diberlakukan, terhadap,
perorangan, dan, bangsa-bangsa, dengan, sama. Jikaengkau melayangkan
pandanganmu ke alam yang hidup ini, engkau pastikan mengetahui bahwa naskh
(penghapusan) adalah undang-undang alami yang lazim, baik dalam bidang material
maupun spiritual, seperti proses kejadian manusia dari unsur-unsur sperma
dan telur kemudian menjadi janin, lalu berubah menjadi anak,
kemudian tumbuh menjadi remaja, dewasa, kemudian orang tua dan seterusnya.
Syari'at Allah adalah perwujudan dari rahmat-Nya. Dia-lah yang Maha Mengetahui
kemaslahatan hidup hamba-Nya. Melalui sarana syari'at-Nya, Dia mendidik manusia
hidup tertib dan adil untuk mencapai kehidupan yang aman, sejahtera dan
bahagia di dunia dan di akhirat.[6]
BAB III
PENUTUP
PENUTUP
3.1. Simpulan
Dari
segi bahasa nasikh bisa diartikan sebagai menghilangkan, pembatalan, menghapus,
mengganti, menukar. menurut
akal maupun menurut riwayat, nasikh dapat terjadi. Pendapat ini sudah
disepakati ulama usul, kecuali nasikh terhadap nash-nash (ayat) Al-Quran.
Nasikh itu ada yang Nasikh Kitab
dengan Kitab, Kitab dengan Sunnah,
Sunnah dengan Kitab, serta Sunnah dengan Sunnah. Imam Suyutti
mengatakan ; Bahwa naskh hanya terjadi pada perintah(amr), dan larangan
(nahyi), baik yang diungkap dengan redaksi sharikh (tegas) atau yang tidak
tegas,Atau yang diungkap dengan kalimat berita (khabar), yang bermakna amr
(perintah), atau yang bermakna nahy (larangan).
3.2. Saran
Kami
mengetahui bahwa makalah ini masih banyak memiliki kekurangan. Oleh karena itu,
untuk kedepannya para pembaca dapat menambahkan hal-hal yang kurang dalam karya
tulis ini. Penulis juga berharap bahwa nantinya para pembaca banyak mengetahui
tentang Ulumul Quran
khususnya Nasikh dan Mansukh.
[1] Muhammad Abd Azhim Al-Zarqany, Manahil
al-Irfan fi ‘Ulum al-Qur’an, H. 176
[2] Hanafie M.A, Usul Fiqh, (Jakarta: Widjaya, 1975), H. 92-93
[3] Syekh Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Usul Fikih, (Jakarta: Rineka Cipta,
1993), H. 281
[4] A. Hanafie M.A., Usul Fiqh, (Jakarta: Widjaya, 1975), H. 93
[5] Drs. Moh. Rifa’I, Ushul Fikih, (Bandung: Alma’arif, 1987), H. 105
[6] Manna’ Khalil Al-Qattan, Manahits
fi ‘Ulumil Qur’an, (Bogor: Pustaka Litera AntarNusa, 2011), hlm. 226
Al-Zarqani, Muhammad Abdul Azhim. Manahil al-irfan fi ‘Ulum al-Qur’an.
Hanafie. 1975. Usul Fiqh. Jakarta: Widjaya.
Khallaf, Syekh Abdul Wahab. 1993. Ilmu Usul Fikih. Jakarta: Rineka Cipta.
Rifa’I, Moh. 1987.Ushul Fikih. Bandung: Alma’arif.
Al-Qattan, Manna’ Khalil. 2011. Mabahits fi ‘ulumil Quran. Bogor: Pustaka Litera AntarNusa.
Komentar
Posting Komentar